KPK memberikan penghargaan kepada tiga tokoh karena kejujurannya menolak gratifikasi. Tiga tokoh itu berasal dari tiga instansi yang berbeda.
Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar dan Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan memberikan langsung penghargaan tersebut kepada ketiga tokoh tersebut. Ketiganya adalah pengamanan pengawalan kereta di PT Kereta Commuter Indonesia Wahyu Listyantara, penghulu madya dan Kepala KUA Kecamatan Cimahi Tengah Budi Ali Hidayat, serta Kepala Dinas Pariwisata Kepemudaan dan Olahraga Kabupaten Mukomuko Apriansyah.
Berikut ini kisah 3 orang yang diberi penghargaan KPK:
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
1. Wahyu Listyantara
Wahyu merupakan anggota Brimob Polri sejak 2008, yang memutuskan pensiun dini pada 2018. Saat ini ia menjadi pegawai tetap PT KCI.
"Dalam kondisi kesulitan keuangan dan tinggal sendirian di sebuah kos sederhana, seorang rekanan PT KCI mengajak makan siang bersama. Saat makan siang bersama, Wahyu bercerita tentang kesulitan-kesulitannya saat itu karena telah menganggap orang tersebut sebagai teman," kata Plt Juru Bicara Bidang Pencegahan KPK, Ipi Maryati, Selasa (8/12/2020).
Kemudian, orang tersebut bersimpati dan memberi sebuah amplop berisi satu lembar cek senilai Rp 100 juta. Cek tersebut ia sebut sebagai bantuan kepada Wahyu agar dapat membeli rumah.
"Wahyu sudah menolak pada kesempatan pertama namun pihak pemberi tetap memaksa. Merasa tidak enak hati karena sudah mengenal lama, akhirnya Wahyu terpaksa menerima," katanya.
Setelah menerima cek, Wahyu curhat kepada temannya tentang keberatan hati menerima cek tersebut. Lalu temannya menyarankan agar Wahyu melapor ke KPK.
Keesokan harinya, Wahyu ke bank untuk memastikan apakah benar cek tersebut dapat dicairkan. Setelah mengetahui bahwa cek tersebut bisa dicairkan, Wahyu kemudian melaporkan penerimaan tersebut dan menitipkan uang tersebut kepada Unit Pengendalian Gratifikasi (UPG) PT KCI serta menyampaikan laporan tersebut sebagai laporan gratifikasi.
"Dari peristiwa ini, dapat dipahami bahwa melaporkan gratifikasi membutuhkan suatu integritas yang tinggi. Apalagi Wahyu dihadapkan dalam dilema berada dalam kondisi membutuhkan uang tersebut," ujar Ipi.
2. Budi Ali Hidayat
Pada 2013, KPK mengumumkan bahwa pemberian apa pun kepada petugas pencatat nikah yang menikahkan pasangan mempelai di luar gaji adalah gratifikasi. Akibatnya, terjadi pergolakan dan protes dari petugas pencatat nikah atau penghulu KUA di Jawa Timur.
Berangkat dari hal tersebut, Kementerian Agama bersama KPK merevisi peraturan yang lama tentang Pengelolaan PNBP atas Biaya Nikah dan Rujuk di luar KUA Kecamatan. Kemudian Kementerian Agama menerbitkan Permenag Nomor 24/2014 yang menetapkan biaya menikah di KUA adalah gratis dan di luar KUA ada tarif sebesar Rp 600 ribu. Adapun petugas/penghulu akan menerima honor dan biaya transportasi dari kantor.
"Tahun 2019, Budi selaku Kepala KUA Cimahi Tengah sering bertugas menjadi penghulu akad nikah. Dalam setiap tugas, Budi kerap diberikan uang dari masyarakat selaku penerima layanan sebagai tanda terima kasih atas pelayanan yang diberikan Budi. Merasa sudah menerima gaji dari negara dan penerimaan tersebut merupakan sesuatu yang salah, sehingga Budi melaporkan gratifikasi tersebut ke KPK," kata Ipi.
Dalam kondisi tertentu, Budi dapat mengambil sikap untuk melakukan penolakan gratifikasi dari masyarakat. Akan tetapi jika tidak dapat ditolak pada kesempatan pertama, Budi dengan segera melaporkan gratifikasi tersebut kepada KPK melalui aplikasi GOL dalam waktu 30 hari kerja dari tanggal penerimaan.
"Total laporan yang telah dilaporkan adalah sebanyak 88 laporan terdiri atas 64 laporan penerimaan dan 24 laporan penolakan dengan total nilai gratifikasi sebesar Rp 16.190.000 dan yang ditetapkan menjadi milik negara sebesar Rp 13.540.000, sehingga Budi menjadi pelapor dengan frekuensi melaporkan gratifikasi terbanyak sepanjang 2019-2020," katanya.
"Dari peristiwa ini, kita belajar dari Budi bahwa kita harus membiasakan yang benar bukan membenarkan kebiasaan yang salah. Karena praktik pemberian dari pihak penyelenggara acara pernikahan yang di luar dari ketentuan Permenag di atas masih dijadikan suatu kebiasaan yang seolah-olah dibenarkan, padahal pemberian tersebut merupakan gratifikasi illegal bagi petugas pencatat pernikahan/penghulu," sambungnya.
3. Apriansyah
Pada 2018, pada saat Apriansyah menjabat Kepala Dinas PUPR Kabupaten Mukomuko, bekerja sama dengan pihak pemberi selaku rekanan terkait proyek pengerjaan pengaspalan jalan di daerah Mukomuko. Pihak rekanan berkali-kali menyampaikan secara implisit kepadanya bahwa setelah pengerjaan jalan di lingkungan proyek selesai, pihak pemberi akan melakukan pengaspalan jalan di halaman depan rumahnya. Namun dia tidak mengetahui bahwa pengaspalan jalan akan dilaksanakan.
Ipi menjelaskan, pada 7-9 Desember 2019, Apriansyah melakukan perjalanan dinas ke Medan. Sekembali dari Dinas, dia mendapati jalan akses pribadi ke rumahnya sudah diaspal oleh pihak rekanan secara sepihak.
"Atas penerimaan pengaspalan jalanan pribadi tersebut, ia kemudian berkoordinasi kepada UPG Kabupaten Mukomuko dan melaporkannya ke Direktorat. Gratifikasi KPK sebagai Laporan gratifikasi dan bersedia mengganti biaya aspal jalan tersebut sejumlah biaya pengaspalan jalan yang telah diterima sebesar Rp 17.270.000 untuk menjadi milik negara," katanya.
"Dari peristiwa ini, dapat dipahami bahwa objek gratifikasi tidak hanya dalam bentuk uang atau barang, namun juga bisa bentuk hal-hal lain yang tidak lazim seperti pemberian aspal/pengaspalan jalan. Dan dari peristiwa ini dapat diketahui bahwa terdapat gratifikasi yang tidak bisa ditolak karena peristiwa pemberian tidak diketahui oleh penerima gratifikasi," imbuh Ipi.