Polda Metro Jaya membongkar sindikat mafia tanah yang memalsukan sertifikat rumah di Pulogadung, Jakarta Timur, senilai Rp 6 miliar. Mafia tanah ini diotaki oleh seorang narapidana (napi) yang masih menjalani hukuman di LP Cipinang, Jakarta Timur.
Ada 8 tersangka yang ditangkap polisi dalam kasus ini, yakni AYS, PA, MSM, SHS, RAG, S, AA, dan NS. Sementara itu, dua tersangka berstatus DPO, yakni HG dan HAG.
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus mengatakan sindikat ini diotaki oleh seorang napi yang masih mendekam di LP Cipinang karena perkara tindak pidana lain.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Yang pertama inisialnya adalah AYS, otak dari sindikat ini. Saya katakan bahwa masih menjalani masa hukuman di Lapas Cipinang, Jakarta Timur," ujar Kombes Yusri Yunus kepada wartawan di Polda Metro Jaya, Senayan, Jakarta Selatan. Kamis (3/12/2020).
Kasus ini melibatkan notaris & PPAT, yakni SHS dan RAG. Mereka juga ditangkap karena membuat akta jual-beli fiktif.
"Kemudian ada inisialnya S, dia mengaku notaris, kemudian AA, juga mengaku notaris," lanjutnya.
Sedangkan PA berperan mengenalkan korban kepada tersangka MSM. Sementara itu, tersangka MSM berperan membujuk korban bersama tersangka AYS.
"Satu tersangka lainnya, PA, ini masih menjalani proses penyembuhan karena mengalami stroke," tuturnya.
Kasus ini bermula ketika pada 2009. Tersangka PA meminjam sertifikat rumah korban Christina dengan luas tanah 4.27 meter persegi di Pulogadung, Jakarta Timur. PA meminjam sertifikat hak milik (SHM) atas rumah tersebut dengan alasan untuk diagunkan ke bank sebagai modal usaha.
"Tersangka membujuk korban untuk menyerahkan sertifikat milik si korban dan dijanjikan rumahnya akan direnovasi," katanya.
Namun hal itu tidak terlaksana lantaran tersangka mengalami macet kredit senilai Rp 2 miliar. Setelah itu, tersangka MSM dan AYS menawarkan korban penebusan sertifikat itu di bank dengan dijanjikan Rp 100 juta, dengan syarat sertifikat itu dapat dipinjam kembali selama 3 (tiga) bulan.
Korban menyetujui penawaran tersebut. Hingga akhirnya, pada 2016, korban didatangi oleh pihak bank yang akan menyita rumah tersebut. Rumah tersebut diagunkan ke bank senilai Rp 6 miliar.
Kasus ini kemudian dilaporkan ke polisi pada 2017. Hingga akhirnya, para tersangka ditangkap pada 2020. Atas perbuatannya, para tersangka dijerat Pasal 263 KUHP dan atau Pasal 264 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 ke (1) KUHP dan atau Pasal 3, 4, dan 5 UU RI No 08 Tahun 2010 tentang TPPU.
Simak selengkapnya di halaman selanjutnya.
Direktur Reskrimum Polda Metro Jaya Kombes Tubagus Ade Hidayat menjelaskan mafia tanah ini bekerja secara sindikat. Nyaris tidak ada pelaku tunggal dalam kejahatan ini.
"Tindak pidana pertanahan hampir tidak pernah dilaksanakan oleh satu orang. Tetapi, dia harus beramean karena, memang terus berpanjang-panjang dan ini banyak terjadi dan alhamdulillah beberapa perkara kita ungkap," ujar Kombes Tubagus Ade di Jakarta, Jumat (4/12/2020).
Dia menjelaskan modus operandi yang dilakukan oleh sindikat ini. Para pelaku melancarkan aksinya dengan membujuk rayu korban dengan berbagai cara, salah satunya menawarkan keuntungan dengan catatan korban mau mengagunkan sertifikat ke bank sebagai modal usaha.
"Upayanya dengan bujuk rayunya agar sertifikat itu berpindah tangan dulu. Sertifikat itu berpindah tangan. Kalau yang ini melalui perbankan, dari perbankan ditebus, setelah ditebus, kemudian ada beberapa hal yang mengakibatkan terjadinya perpindahan hak," tuturnya.
"(Modus perpindahan hak milik) ada bisa (berupa) hibah, waris, jual-beli, dan karena putusan pengadilan. Nah, ini berpindahnya dari satu orang ke orang lain melalui akta jual-beli," katanya.
Tubagus mengungkap pihaknya menerima banyak laporan serupa terkait kasus ini. Masyarakat diimbau lebih waspada agar tidak menjadi korban mafia tanah.
"Oleh karena itu, jangan pernah menjaminkan sertifikat kepada lembaga yang tidak resmi yang nantinya akan hilang, khawatir akan hilang. Kemudian yang menjanjikan kemudahan proses peminjaman ke bank tertentu akhirnya prosesnya berpindah tangan. Setelah berpindah tangan, ini bisa menjadi apa saja, bisa dipalsukan, dan sebagainya," lanjutnya.
Lebih lanjut, Tubagus mengimbau kepada notaris & PPAT agar menjalankan prosedur dalam proses jual-beli dan sejenisnya. Polisi mengimbau agar tidak ada 'figur' lain dalam perpindahan aset seseorang.
"Kalau pihak-pihak harus hadir, ya hadir, kalau mau dicek, ya dicek. Jangan sampai dibuat figur, jangan sampai dibuat hal lain. Dan kalau memberikan sertifikat itu hati-hati betul dan jangan sampai berpindah tangan dengan jelas dan setelahnya kembali ke pemegangnya segera dicek ke BPN. BPN itu ada alat yang bisa menguji apakah sertifikat ini produk BPN atau tidak, karena ada modus yang mungkin akan saya rilis kembali. Karena ada modus sertifikat diambil seolah-olah mau dicek ke BPN kemudian dibuatkan palsunya seperti asli yang palsunya dikembalikan ke pemilik, yang aslinya buat diagunkan," paparnya.