Polda Metro Jaya baru-baru ini menangkap mafia tanah yang memalsukan sertifikat rumah Rp 6 miliar. Dari 8 tersangka yang ditangkap, salah satunya adalah seorang napi yang masih menjalani hukuman di LP Cipinang.
Sindikat ini juga melibatkan notaris & PPAT. Ada dua orang notaris & PPAT yang ditangkap karena ikut terlibat dalam pemalsuan sertifikat.
Direktur Reskrimum Polda Metro Jaya Kombes Tubagus Ade Hidayat menjelaskan mafia tanah ini bekerja secara sindikat. Nyaris tidak ada pelaku tunggal dalam kejahatan ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tindak pidana pertanahan hampir tidak pernah dilaksanakan oleh satu orang. Tetapi, dia harus beramean karena, memang terus berpanjang-panjang dan ini banyak terjadi dan alhamdulillah beberapa perkara kita ungkap," ujar Kombes Tubagus Ade di Jakarta, Jumat (4/12/2020).
Dia menjelaskan modus operandi yang dilakukan oleh sindikat ini. Para pelaku melancarkan aksinya dengan membujuk rayu korban dengan berbagai cara, salah satunya menawarkan keuntungan dengan catatan korban mau mengagunkan sertifikat ke bank sebagai modal usaha.
"Upayanya dengan bujuk rayunya agar sertifikat itu berpindah tangan dulu. Sertifikat itu berpindah tangan kalau yang ini melalui perbankan, dari perbankan ditebus setelah ditebus kemudian ada beberapa hal yang mengakibatkan terjadinya perpindahan hak," tuturnya.
"(Modus perpindahan hak milik) ada bisa (berupa) hibah, waris, jual beli, dan karena putusan pengadilan. Nah ini berpindahnya dari satu orang ke orang lain melalui akta jual-beli," katanya.
Dalam kasus ini polisi menangkap 2 orang notaris & PPAT yakni SHS dan RAG. Mereka terlibat dalam perpindahan hak aset atas korban tanpa prosedur yang seharusnya.
Simak selengkapnya di halaman selanjutnya.
Para pelaku menebus sertifikat korban yang diagunkan ke bank. Mereka kemudian membuat akta jual-beli fiktif pada notaris & PPAT hanya bermodalkan surat kuasa pemilik rumah yang ternyata palsu. Sindikat ini kemudian mengagunkan kembali sertifikat tanah itu ke bank lain senilai Rp 6 miliar.
Kasus ini baru disadari korban ketika rumahnya hendak disita oleh pihak bank. Kasus ini terjadi pada 2015 dan baru terungkap di 2020. Karena melibatkan banyak pihak, sehingga proses penyidikan memakan waktu yang cukup lama.
"Sampai dengan si ibu yang si korban yang sudah cukup usia yang tidak mengerti apa-apa, tiba-tiba asetnya harus disita. Sementara dia tidak mendapatkan apa-apa, yang mendapatkan 6 miliar orang lain," tuturnya.
Tubagus mengungkap, pihaknya menerima banyak laporan serupa terkait kasus ini. Masyarakat diimbau untuk lebih waspada agar tidak menjadi korban mafia tanah.
"Oleh karena itu, jangan pernah menjaminkan sertifikat kepada lembaga yang tidak resmi yang nantinya akan hilang, khawatir akan hilang. Kemudian yang menjanjikan kemudahan proses peminjaman ke bank tertentu akhirnya prosesnya berpindah tangan, setelah berpindah tangan ini bisa menjadi apa saja, bisa dipalsukan, dan sebagainya," lanjutnya.
Lebih lanjut, Tubagus mengimbau kepada notaris & PPAT agar menjalankan prosedur dalam proses jual-beli dan sejenisnya. Polisi mengimbau agar tidak ada 'figur' lain dalam perpindahan aset seseorang.
"Kalau pihak-pihak harus hadir ya hadir, kalau mau dicek ya dicek, jangan sampai dibuat figur jangan sampai dibuat hal lain. Dan kalau memberikan sertifikat itu hati-hati betul dan jangan sampai berpindah tangan dengan jelas dan setelahnya kembali ke pemegangnya segera dicek ke BPN. BPN itu ada alat yang bisa menguji apakah sertifikat ini produk BPN atau tidak karena, ada modus yang mungkin akan saya release kembali. Karena ada modus sertifikat diambil seolah-olah mau dicek ke BPN kemudian dibuatkan palsunya seperti asli yang palsunya dikembalikan ke pemilik, yang aslinya buat diagunkan," paparnya.