Pilkada serentak akan digelar pada 9 Desember 2020 di tengah masa pandemi Corona. Ketua PWI Pusat Atal S Depari berharap kepala daerah terpilih dapat membangkitkan ekonomi di tengah pandemi Corona.
Hal tersebut disampaikan Atal dalam diskusi Seri Ke-3 Mappilu PWI bertajuk 'Pilkada 2020: Mencari Pemimpin Perubahan Penggerak Perekonomian' di Kantor PWI Pusat, Jakarta, Kamis (26/11/2020).
Selain Atal, acara tersebut turut dihadiri Ketua Mappilu PWI Suprapto Sastro Atmojo; Wakil Ketua Umum REI, Raymond Arfandi; CEO Sritex Iwan Setiawan; Ketua Umum Gerakan Moral Rekonsiliasi Indonesia (GMRI) Eko Sriyanto Galgendu; dan Direktur Utama PT Harta Mulia, Wima Brahmantya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Atal mengatakan saat ini ada dua hal yang menjadi perhatian pemerintah, yaitu bagaimana mengatasi COVID-19 serta dampak ekonominya. Oleh karena itu, Mappilu juga menghimbau masalah ekonomi tidak bisa ditawar karena semua tiarap.
"Kami berharap pemimpin pemimpin baru nanti punya visi untuk membangkitkan ekonomi dari daerah, kami berharap ada pencerahan dari diskusi ketiga Mappilu PWI ini, terima kasih kepada para pembicara yang bersedia hadir," ujar Atal.
Sementara itu, CEO Sritex Iwan Setiawan menceritakan bisnisnya turut terdampak di tengah pandemi. Pengusaha di bidang industri tekstil itu menyampaikan, terjadi perubahan yang luar biasa di dunia usaha sejak Maret 2020 setelah karantina wilayah diberlakukan. Ekonomi menjadi stagnan karena pengusaha tidak bisa mengekspor dan terkendala jualan di dalam negeri.
"Hal yang saya alami kita melihat kondisi pada saat itu pertama bagaimana kesehatan kita harus kuat. Kedua, Sritex harus hidup dan tidak ada PHK, ternyata ada jalan kami membuat masker, APD yang mengakibatkan ada pemasukan untuk Sritex. Kita sebulan mengubah industri kita menjadi pembuat masker dengan produksi 50 juta pcs. Ini salah satu sikap dinamis pengusaha untuk menyesuaikan kondisi," ujar Iwan.
Lebih lanjut, Iwan juga menyoroti terkait kepemimpinan. Menurutnya, terdapat tiga hal penyebab kemunduran bangsa. Pertama, kurangnya jiwa nasionalisme dari pemimpin; kedua, minimnya kualitas pendidikan; dan ketiga, pembentukan kultur-kultur yang dianggap benar.
"Pemimpin perubahan itu dituntut berintegritas tinggi multi skill dan memahami banyak bidang dengan berani mengubah kultur dan bertindak cepat. Itu menjadi landasan kita untuk menghadapi masa depan," ujar Iwan.
Simak juga video 'Demi Protokol Kesehatan, Bawaslu Hilangkan Kampanye Rapat Umum':
Sementara itu, Ketua Umum GMRI Eko Sriyanto Galgendu, dalam paparannya mengatakan, para pemimpin harus memperkuat kembali sistem ekonomi bangsa agar menjadi negara maju.
Eko mengatakan di tengah masa pandemi COVID-19, terjadi perang siber antar negara dengan memakai beberapa media propaganda untuk melakukan serangan psikologi. Selain itu, Eko Galgendu juga berbicara tentang rekonsiliasi ekonomi Indonesia dan tantangan perubahan zaman baru para pemimpin.
Eko meminta kepala daerah untuk waspada menghadapi siber COVID-19 dengan strategi membumi.
"Rekonsilisasi ekonomi negara yang dimaksud adalah memperkuat kembali negara atau wadah yang memiliki suatu sistem ekonomi yang kuat guna menuju ingin dicapai," ujarnya.
Adapun tantangan perubahan zaman baru yang dimaksud adalah kondisi yang dihadapi dalam memenangkan perubahan sistem dan aturan ekonomi dunia yang mengalami era perubahan zaman baru.
Misalnya siber COVID-19, siber COVID-19 yang dia maksud adalah perang urat saraf yang memakai media propaganda untuk melakukan serangan psikologi. Hal itu mengakibatkan manusia tidak bisa berpikir secara jernih, bingung, stres, dan panik menurut kehendak perancangnya.
"Strategi membumi yang dimaksud di sini upaya bertahan dengan strategi gerakan membumi yaitu kerakyatan dan kebudayaan. Memaksimalkan hasil alam dan bumi, pertanian maupun perkebunan," jelas Eko.
Menurutnya, kondisi sekarang ini yang terjadi di sejumlah negara akibat pandemi COVID-19 banyak mengalami kerugian di berbagai bidang. Maka para pemimpin mesti waspada berpikir pada kondisi paling buruk.
"Jadi kami berharap para pemimpin waspada. Serta berpikir pada kondisi paling buruk yaitu kondisi kolonial zaman baru dan senjata daripada kolonial adalah COVID-19 yang dipakai sebagai siber," ungkap Eko.
Eko mengungkap tantangan siber dan gaya baru ini harus diantisipasi. Sebab pemimpin harus sadar bahwa Indonesia sedang dalam kondisi dipertaruhkan dan bisa menjadi tumbal. Jika para pemimpinnya tidak menerapkan 3C yaitu cerdas, cermat, dan cerdik dalam menilai dan memahami penyelesaian COVID-19 yang mesti beradu strategi dengan negara lain.
"Jadi kondisi sekarang para pemimpin harus menyelesaikan permasalahan COVID-19 dan harus beradu strategi dengan bangsa lainnya di dunia. Sisi lain bangsa ini masih saja ribut dengan kondisi politik di dalam negeri," ujar Eko.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Utama PT Harta Mulia, Wima Brahmantya turut menjelaskan, kondisi politik Indonesia selalu panas padahal politik harusnya menjadi penyejuk di tengah demokrasi. Menurutnya, seharusnya politik dan politikus negeri membuat kekayaan sumber daya alam untuk menyejahterakan bangsa Indonesia.
"Mengutip Bung Hatta, demokrasi ekonomi tidak akan tercapai tanpa adanya persaudaraan. Saat ini kondisi warga di daerah pecah gara-gara Pilkada. Padahal, hal terpenting yang diinginkan pengusaha, yaitu keamanan. Tapi hal ini bisa terwujud jika pemimpin itu kuat tidak ada beban dan mandiri," kata Wima.
"Kita sering lupa, filosofi kepemimpinan kita yang paling di kubur dalam-dalam oleh parlemen yakni sila keempat Pancasila, yaitu keberpihakan kepada rakyat itu bisa diwujudkan apabila negeri ini dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan, dan harusnya lahir melalui mekanisme musyawarah mufakat," ujarnya.