Kapolda Nusa Tenggara Timur (NTT) Irjen Lotharia Latif menyoroti istilah 'kawin tangkap'. Dia meminta istilah 'kawin tangkap' dihapus karena menimbulkan salah tafsir dalam praktiknya di tengah masyarakat.
"Jadi di sini, ada budayawan asal Sumba Tengah, namanya Pak Anderias P Sabaora. Kami telah berdiskusi membahas perihal 'kawin tangkap' yang masih terjadi di beberapa tempat di NTT. Saya usul, sudahlah... tidak usah lagi ada istilah 'kawin tangkap' karena masyarakat ternyata salah menafsirkan dalam praktiknya, tidak sesuai dengan tradisi zaman dulu. Dan Pak Anderias setuju dengan usulan saya," jelas Latif kepada detikcom, Selasa (24/11/2020).
Tradisi 'kawin tangkap' yang sebenarnya, jelas Latif, didasari kesepakatan keluarga 'yang menangkap' dan 'yang ditangkap'. Latif menerangkan antara keluarga mempelai pria dan mempelai wanita turut dalam rencana 'kawin tangkap'.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saat proses ('kawin tangkap')-nya berjalan, ada kuda yang diikat dan emas di bawah bantal. Itu menandai prosesi 'kawin tangkap' tengah berlangsung. Namun dewasa ini, orang salah menafsirkan tradisi 'kawin tangkap', akhirnya dia melakukan praktik pemaksaan-pelecehan terhadap perempuan. Itu tidak tepat untuk menggambarkan tradisi di NTT," terang Latif.
Latif menegaskan penyidik kepolisian tak akan lagi memakai istilah 'kawin tangkap' dalam menangani perkara terkait. Latif menghendaki tokoh-tokoh adat di NTT mengkaji kembali dan merumuskan istilah yang sesuai dengan budaya setempat.
"Semua elemen punya peran, ya, seperti tokoh adat, untuk merumuskan istilah-istilah apa yang sesuai dengan kearifan masyarakat adat," kata Latif.
"Dulu, tradisi 'kawin tangkap' di Sumba jelas proses adatnya. Bukan asal main bawa perempuan dengan paksa seperti yang sempat viral beberapa waktu lalu," sambung Latif.
Latif mengaku telah menyampaikan hal ini saat rapat dengan Komnas Perempuan soal kasus kekerasan perempuan, di antaranya perkara 'kawin tangkap' di Sumba Tengah serta kasus bentrok warga dengan Satpol PP di Besipae, Timor Tengah Selatan (TTS). Kedua kasus tersebut sempat viral di media sosial.
Simak viral peristiwa kawin tangkap di Sumba Tengah yang buat Menteri PPPA angkat bicara di halaman selanjutnya >>>>
Sebelumnya, video viral 'kawin tangkap' di Sumba sempat viral dan memicu kontroversi. Video tersebut sempat disoroti Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan (PPA) Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati.
Video yang menunjukkan seorang perempuan menangis dan berteriak saat digotong oleh sejumlah pria dan dibawa masuk ke satu rumah di Kabupaten Sumba Tengah, NTT. Di samping itu, ada satu video yang menunjukkan seorang perempuan yang 'diculik' oleh empat pria saat berada di satu terminal di Kota Weetabula, Kabupaten Sumba Barat Daya, NTT.
Kedua rekaman video itu menggambarkan bagian dari proses kawin tangkap, praktik yang dianggap lazim di kalangan masyarakat Sumba, khususnya yang berada di daerah pedalaman.
Seorang perempuan Sumba Tengah, Rambu Prailiang, mengaku sangat menentang praktik 'kawin tangkap' yang menurutnya, pelaksanaannya pada masa sekarang sudah melenceng jauh dari praktik pada masa lalu. Menurut dia, pada masa lalu perempuan yang menjalankan tradisi kawin tangkap atau palaingidi mawini dihargai.
Pada zaman dulu, ia menuturkan, orang yang menjalankan praktik kawin tangkap harus berasal dari keluarga kaya karena belis atau mahar yang harus dibayarkan ke pihak perempuan besar. Perempuan yang akan 'ditangkap', menurut dia, juga sudah dipersiapkan, sudah didandani dengan pakaian adat lengkap, gelang gading, dan aneka perhiasan. Pria yang akan menikahi perempuan itu pun mengenakan pakaian adat lengkap dan menunggang kuda berhias kain adat.
Setelah perempuan 'ditangkap', pihak laki-laki akan mengirim utusan ke keluarga perempuan untuk menyampaikan informasi mengenai kejadian kawin tangkap tersebut. Namun, menurut Rambu, sekarang praktik kawin tangkap lebih mengarah pada penculikan dan membuat kaum perempuan Sumba, khususnya di Sumba Tengah, Sumba Barat, dan Sumba Barat Daya, NTT, hidup dalam ketakutan.