HNW Bicara Opsi Legislative Review hingga UU Pencabutan Cipta Kerja

HNW Bicara Opsi Legislative Review hingga UU Pencabutan Cipta Kerja

Abu Ubaidillah - detikNews
Sabtu, 07 Nov 2020 11:25 WIB
Hidayat Nur Wahid
Foto: MPR
Jakarta -

Wakil Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid (HNW) mendukung opsi legislative review terhadap UU Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang dibuka Pemerintah. Menurutnya ini sejalan dengan prinsip NKRI sebagai Negara Pancasila, Negara Hukum yang mengutamakan kedaulatan rakyat sesuai Bab I Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUDNRI 1945.

"Saya mengapresiasi pernyataan Menkopolhukam Mahfud MD, tidak menutup kemungkinan dilakukannya legislative review terhadap UU Ciptaker yang telah ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo," ujar HNW dalam keterangannya, Sabtu (7/11/2020).

Namun karena permasalahan UU Cipta Kerja tidak sekadar salah ketik, tapi berjalin berkelindan serta banyak aspeknya, mencakup berbagai hal dan ketentuan terkait UU Cipta Kerja, maka legislative review disebut sebagai salah satu opsi legal yang bisa dilakukan agar DPR dan Presiden bisa mengobati luka rakyat dengan memperbaiki secara mendasar terkait penyusunan, pengesahan, dan sosialisasinya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mengenai proses pembahasan, UU Cipta Kerja disebut terburu-buru target dan tidak cermat, draft final juga tidak diberikan kepada setiap fraksi pada pengambilan keputusan tingkat I dan OO, jadwal paripurna persetujuannya juga dimajukan tiba-tiba

Setelah diketok palu di rapat paripurna DPR RI hingga diserahkan ke Pemerintah, masih ada perbaikan yang diakui oleh Jubir Presiden Bidang Hukum, Dini Shanti P yang diklaim sebagai perbaikan administrasi, bukan substantif, namun ternyata berdampak pada dihilangkannya pasal 46 dengan 4 ayatnya.

ADVERTISEMENT

Kesalahan administratif dan substantif masih ditemukan dalam UU Cipta Kerja Padahal UU tersebut sudah disisir di Baleg DPR dan Setneg sesudah diputuskan di rapat paripurna DPR. Termasuk setelah ditandatanganinya UU tersebut oleh Presiden dan dimuat dalam lembaga negara.

Beberapa pihak sudah memublikasikan temuan kesalahan pasal dalam UU Cipta Kerja. Misalnya pasal 6 yang menentukan untuk merujuk ke Pasal 5 ayat 1, padahal pasal 5 tersebut tanpa ayat. Lalu pasal 175 angka 6 yang mengubah pasal 53 UU Administrasi Pemerintahan yang ayat 5-nya menyebut agar merujuk ke ayat 5, padahal seharusnya ke ayat 4. Kemudian pasal 50 angka 5 yang mengubah pasal 36 UU Perumahan dan Kawasan Pemukiman, dan lain sebagainya. Belum lagi pasal yang dinilai menguntungkan investor dan merugikan buruh WNI sebagaimana dilaporkan INDEF.

HNW mengatakan harusnya tidak terjadi kesalahan dalam pembuatan UU yang memiliki daya ikat dan daya paksa kepada masyarakat luas, apalagi Pemerintah menyampaikan UU Omnibus Law masuk kategori prioritas, penuh niat baik, untuk sederhanakan perundangan dan hadirkan kepastian hukum. Namun dengan masih banyaknya masalah, justru dinilai menggambarkan hal sebaliknya dari yang diklaim Pemerintah.

"Legislative review, dengan menarik seluruh ketentuan Cipta Kerja, oleh DPR dan Pemerintah, bisa menjadi sarana bagi Presiden dan DPR untuk memperbaiki kinerja dalam pembuatan UU, dan memperbaiki kesalahan dalam pembuatan UU Omnibus Law seperti Cipta Kerja ini, agar tak lagi dilakukan dengan grusa-grusu dan ugal-ugalan, sehingga menghasilkan banyak masalah, serta penolakan dari masyarakat luas. Melakukan legislative review menyeluruh dalam rangka mengembalikan kepercayaan rakyat terhadap demokrasi dan lembaga negara/Pemerintah (eksekutif) maupun DPR (legislatif)," paparnya.

Karena itu ia berpendapat agar legislative review yang opsinya dibuka pemerintah diprioritaskan dan bukan hanya merevisi kesalahan-kesalahan dalam UU Cipta Kerja, melainkan secara total membuat RUU pencabutan UU Cipta Kerja yang telah meresahkan rakyat terutama kaum buruh, menghadirkan pembelahan rakyat, dan memperoleh penolakan dari masyarakat secara luas dan berkelanjutan.

"Perlu ada keberanian dan kenegarawanan untuk mengambil langkah ini, guna mengakhiri kegelisahan dan kegaduhan Rakyat akibat disahkannya UU Ciptaker yang masih bermasalah itu, di tengah pandemi COVID-19 yang Rakyat juga korbannya. Langkah itu juga dapat menyelamatkan kepercayaan Rakyat terhadap lembaga-lembaga negara baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif," katanya lebih lanjut.

Ia juga menuturkan pengajuan dan pembahasan RUU pencabutan UU Cipta Kerja ni bisa dilakukan dengan jalur cepat tanpa melewati proses Program Legislasi Nasional (Prolegnas) layaknya RUU pada umumnya, ia merujuk Pasal 23 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019 sebagai dasar hukumnya.

Ketentuan itu berbunyi, "Dalam keadaan tertentu, DPR atau Presiden dapat mengajukan Rancangan Undang-Undang di luar Prolegnas mencakup:
a. untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam; dan
b. keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu Rancangan Undang-Undang yang dapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi dan menteri atau kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan."

Ia menilai kehadiran RUU pencabutan UU Cipta Kerja ini sudah memenuhi kriteria pasal itu, yaitu adanya keadaan luar biasa dan adanya urgensi nasional karena adanya penolakan publik yang meluas Proses pembahasan dan persetujuan RUU Cipta Kerja di DPR yang dinilai menabrak prosedur formil dan kesalahan penulisan konten yang substantif cukup menjadi alasan perlunya RUU pencabutan tersebut.

Ia menjelaskan UU pencabutan suatu undang-undang bukan terlarang dan bukan hal yang baru bagi Indonesia. DPR dan Pemerintah juga pernah melakukan kegiatan sejenis dengan mengesahkan UU nomor 26 tahun 1999 tentang pencabutan UU No. 11/PNPS/Tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi. Menurutnya presenden menerbitkan UU yang mencabut UU lain sudah ada dan secara regulasi juga dimungkinkan.

HNW mengingatkan selain legislative review ada dua opsi yang bisa diambil untuk mengakhiri kegaduhan UU Cipta Kerja, yakni judicial review ke MK atau executive review oleh Presiden. Judicial review sudah ditempuh oleh berbagai kalangan masyarakat, terutama buruh/serikat pekerja.

HNW mengatakan Pemerintah juga perlu mempertimbangkan opsi executive review oleh Presiden dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang yang mencabut UU Cipta Kerja ini. Menurutnya opsi ini lebih mudah dilakukan karena hanya membutuhkan kemauan politik Presiden tanpa perlu melibatkan DPR seperti legislative review.

Kemudian jika Presiden membuat Perppu dengan mencabut UU yang baru ditandatanganinya, maka demi kemaslahatan terbesar bagi Bangsa dan Negara, hal seperti itu dinilai wajar untuk dilakukan. Seperti dulu Presiden SBY, di akhir masa jabatan ke-2 nya, membuat Perppu No. 1 Tahun 2014 dan mencabut UU Pilkada yang baru saja ditandatangani.

"Dari sudut pandang ketatanegaraan, memang Presiden tidak boleh dengan mudah menerbitkan Perppu. Namun, langkah ini perlu juga dipertimbangkan, mengingat penolakan terhadap UU Ciptaker di masyarakat semakin meluas, dan masih berlanjut, sementara UU-nya masih banyak masalah formal maupun legal, dengan segala dampak negatifnya dalam aspek ekonomi, sosial dan politiknya," ungkap HNW.

Mensesneg, Pratikno mengakui munculnya kesalahan setelah ditandatangani Presiden sekalipun diklaim sebagai sekedar kesalahan administratif, faktanya banyak juga yang substantif. Namun apapun itu tetap bentuk cacat formal dan legal.

Apalagi telah ada pihak yang ditangkap karena dianggap menyebar hoax terkait UU Cipta Kerja atau petugas di Sekretariat Negara yang sudah diberi sanksi administratif karena dianggap lalai menyodorkan naskah yang diperlukan tanda tangan Presiden, namun ternyata masih banyak masalah, karena itu seharusnya dinilai perlu ada penarikan menyeluruh atas UU Cipta Kerja.

Simak juga video 'Mahfud Md Bicara Soal Kemungkinan Legislative Review UU Ciptaker':

[Gambas:Video 20detik]



(mul/ega)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads