Profesor Eddy Hiariej Soroti Tumpang Tindih Hukuman di UU Cipta Kerja

Profesor Eddy Hiariej Soroti Tumpang Tindih Hukuman di UU Cipta Kerja

Andi Saputra - detikNews
Jumat, 06 Nov 2020 18:42 WIB
Ahli dari tim Jokowi, Eddy Hiariej saat sidang MK (Youtube MK)
Profesor Eddy Hiariej (Youtube MK)
Jakarta -

Prof hukum UGM Eddy Hiariej menyerukan Pemerintah segera membuat Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perpu) atas UU Cipta Kerja. Guru Besar UGM yang pernah menjadi ahli Pilpres di MK untuk kubu Jokowi itu menyoroti soal tumpang tindih hukuman di UU Cipta Kerja.

"Berat ringannya ancaman pidana tergantung dari dampak suatu perbuatan. Celakanya semakin bahaya dampak, semakin ringan hukumannya," kata Eddy dalam diskusi FH UGM yang disiarkan di chanel YouTube, Jumat (6/10/2020).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Eddy mencontohkan Pasal 70 di halaman 25 UU Cipta Kerja. Di halaman itu disebutkan ancaman hukuman bagi penggunaan lahan secara ilegal yaitu hukuman penjara dan denda. Tapi di ayat selanjutnya, apabila penggunaan lahan itu menyebabkan kematian, hukumannya lebih ringan yaitu penjara atau denda.

"Ancaman kematian itu justru paling bahaya, tapi malah lebih ringan," ujar Eddy.

ADVERTISEMENT

UU Cipta Kerja juga menggabungkan 70-an UU. Tapi ancaman pidananya tidak disinkronisasikan satu delik dengan delik lainnya.

Tonton video 'Mahfud Md Bicara Soal Kemungkinan Legislative Review UU Ciptaker':

[Gambas:Video 20detik]



Halaman berikutnya, tumpang tindih hukuman:

Eddy mencontohkan dalam pengelolaan lingkungan hidup, perbuatan yang mengakibatkan kematian ancaman hukumannya maksimal 1 tahun penjara. Tapi dalam kasus perikanan, perbuatan yang mengakibatkan kematian ancaman hukumannya maksimal 6 tahun penjara.

"Apa akibatnya? Terjadi disparitas pidana, dan ini ketidakadilan dalam penegakan hukum," cetus Eddy.

Untuk bisa memperbaikinya, maka tidak bisa diperbaiki dalam Perpres atau Peraturan Pemerintah (PP). Sebab, ancaman pidana hanya boleh diatur dalam UU/Perda. Hal itu sesuai dengan asas hukum bahwa pidana harus dibuat atas persetujuan rakyat.

"Artinya apa? Untuk memperbaiki sanksi pidana hanya kemungkinan Perppu untuk mensinkorinasi atau legislatif review. Apabila menyerahkan ke MK, maka akibat diuji MK, berujung ketidakadilan, sangat mungkin untuk dibatalkan," pungkas Eddy.

Sebagaimana diketahui, nama Eddy membuat heboh media saat menjadi ahli di sengketa Pilpres 2019 di MK. Kala itu, ia menjadi ahli yang diajukan oleh pasangan calon presiden nomor urut 01, Joko Widodo atau Jokowi - Ma'ruf Amin. Dalam persidangan kemarin, Eddy menyampaikan jika kuasa hukum pasangan calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto - Sandiaga Uno tampaknya tidak ingin menyasar tentang hasil rekapitulasi, melainkan mempermasalahkan hal lain yang berada di luar kewenangan MK.

Eddy kemudian menjelaskan dasar pandangannya dengan mengutip Pasal 24C Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa kewenangan MK hanya terhadap kesalahan hasil perhitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Namun, kubu Prabowo dalam gugatannya justru tidak mempersoalkan hal itu.

"Tetapi justru mempersoalkan hal lain di luar kewenangan Mahkamah Konstitusi," kata Eddy kala itu.

Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads