Menteri Koordinasi Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan memberikan instruksi kepada seluruh pimpinan daerah terkait dampak La Nina. Berdasarkan laporan BMKG, kata Luhut, peningkatan curah hujan akibat La Nina bisa sampai 40 persen.
"Saya mendapatkan informasi dari Kepala BMKG bahwa peningkatan curah hujan akibat La Nina ini bisa sampai 40%. Jadi tolong ini disikapi secara serius. Semua pimpinan K/L, Gubernur, Bupati wajib meningkatkan kewaspadaan, apalagi kita masih dalam kondisi pandemi COVID-19," tegas Luhut, dalam keterangan tertulis yang dirilis BMKG, Rabu (7/10/2020).
Pernyataan Luhut ini disampaikan dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Antisipasi Bencana Hidrometeorologi, Gempa bumi-Tsunami Tahun 2020/2021 Untuk Mewujudkan Zero Victims. Turut hadir dalam rapat virtual ini antara lain Hadir dalam Rakornas tersebut antara lain Dirjen dari Kementerian Dalam Negeri, Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan, Dirjen Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Sekjen Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Deputi Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kepala BPPT, juga Kepala BRG.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Luhut menilai kemajuan teknologi yang dimilik oleh BMKG dapat memudahkan siapa pun mengakses informasi peringatan dini yang dikeluarkan oleh BMKG. Maka itu, dia meminta para pimpinan daerah menjadikan informasi BMKG sebagai referensi pengambilan kebijakan.
"Apa yang dilakukan oleh BMKG ini menurut saya sangat penting. Mulai saat ini kita harus memperhatikan apa saja informasi yang dikeluarkan oleh BMKG. Terlebih kita masih dalam situasi pandemi. Jika kita lengah kemudian terjadi bencana seperti banjir dan tsunami, itu bisa menimbulkan situasi chaos dan akan sangat berdampak buruk bagi masyarakat," ujarnya.
Luhut ingin semua pihak berkoordinasi dan berkolaborasi dalam menghadapi bencana. Sinergi antara pusat dan daerah, serta antar daerah dalam upaya peningkatan mitigasi perlu diperkuat implementasinya.
"Mohon Bapak/Ibu pimpinan, para kepala daerah untuk betul-betul bersinergi. Ini masalah kita bersama dan harus kita selesaikan bersama. Tidak boleh lagi saling menyalahkan dalam urusan bencana," ujar luhut.
Sementara itu, Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menyampaikan rakor ini dirasa penting mengingat pada awal Oktober 2020 BMKG, NOAA, JMA, dan BoM Australia memastikan terjadinya fenomena La Nina pada level moderate seiring dimulainya awal musim hujan pada Oktober-November. Dwikorita menyebut ada potensi peningkatan curah hujan di sebagian besar wilayah Indonesia.
"Dengan adanya fenomena La Nina moderate ini diprediksi akan ada peningkatan curah hujan mulai bulan Oktober sampai November dan akan berdampak di hampir seluruh wilayah Indonesia, kecuali di Sumatera. Oleh karena itu, saya mengajak Bapak dan Ibu semua untuk bersiap, karena ini sudah di depan mata," jelasnya.
Catatan menunjukkan La Nina bisa menyebabkan terjadinya peningkatan akumulasi curah hujan bulanan di Indonesia 20-40% di atas normal. Namun memang, lanjut Dwikorita, dampak La Nina tidak seragam di seluruh Indonesia.
Misalnya, pada Oktober-November 2020 diprediksi peningkatan curah hujan bulanan dapat terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia, kecuali Sumatera. Lalu, pada Desember 2020-Februari 2021, peningkatan curah hujan akibat La Nina dapat terjadi di Kalimantan bagian timur, Sulawesi, Maluku-Maluku Utara, dan Papua.
Sementara itu, Dwikorita juga memaparkan soal data kejadian gempa bumi berdasarkan data monitoring kegempaan yang dilakukan BMKG. Sejak 2017, terjadi tren peningkatan aktivitas gempa bumi di Indonesia dalam jumlah maupun kekuatannya.
Gempa bumi sebelum 2017 rata-rata hanya 4.000-6.000 kali dalam setahun dan yang dirasakan atau kekuatannya lebih dari 5 berjumlah 200-an.
Namun, setelah 2017, jumlah kejadian itu meningkat menjadi lebih dari 7.000 kali dalam setahun. Bahkan pada 2018 tercatat sebanyak 11.920 kali dan pada 2019 sebanyak 11.588 kejadian gempa.
"Dengan data dan fakta bahwa kejadian tsunami yang terjadi di dunia sebagian besar dipicu oleh gempa bumi tektonik, tentunya tren kejadian gempa yang melonjak ini juga mengakibatkan meningkatnya potensi tsunami. Sehingga perlu diperkuat kehandalan Sistem Mitigasi Gempa bumi dan Peringatan Dini Tsunami, mengingat hingga saat ini belum ada teknologi yang mampu memprediksi kapan terjadinya gempa bumi," kata dia.
Lebih lanjut, Dwikorita juga menunjukkan fakta bahwa tsunami tidak hanya dipicu oleh gempa bumi tektonik. Pada Desember 2018, terjadi peristiwa typical tsunami Selat Sunda pada 22 Desember 2018 yang diakibatkan oleh aktivitas gunung api di laut yang menurut statistik.
Peristiwa tsunami tersebut, tambah Dwikorita, sangat langka, yaitu sebanyak 5% dari total kejadian tsunami di dunia. Berdasarkan data, Dwikorita menjelaskan mitigasi serta peringatan dini gempa bumi dan tsunami serta cuaca dan iklim ekstrem merupakan hal yang mendesak untuk dipersiapkan dan diperkuat.
"Sebagai contoh, pada tanggal 6 Oktober kemarin kami baru saja melaksanakan geladi evakuasi tsunami IOWave 20 yang diselenggarakan secara nasional dan internasional. Di situ teridentifikasi ternyata beberapa sirene tsunami tidak berfungsi, sementara untuk memperbaiki atau mengganti sudah tidak ada yang menyediakan suku cadangnya. Ini adalah masalah teknis atau mikro, tapi dampaknya bisa besar sehingga perlu koordinasi yang lebih baik antara pusat dengan daerah, antara BNPB sebagai Koordinator dengan Kepala Daerah atau BPBD," tutur Dwikorita.
"Sehingga mari kita rumuskan bersama alternatif solusi dari permasalahan-permasalahan yang nanti akan teridentifikasi dan pada akhirnya akan kita rumuskan rencana aksi bersama untuk mewujudkan Zero Victims dalam menghadapi multi-bencana hidrometeorologi, gempa bumi, dan tsunami," tambahnya.
(idn/imk)