Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi Partai Demokrat Syarief Hasan menyoroti alasan pemerintah dan beberapa fraksi di DPR RI yang mengesahkan UU Cipta Kerja (Omnibus Law). Pasalnya, tak hanya rakyat dan buruh yang menolak berbagai lembaga investor global-pun menyatakan keprihatinannya.
Dia melansir dari Reuters pada Selasa (6/10), yang menyebutkan 35 investor global mengungkapkan keprihatinan mereka lewat sebuah surat terbuka yang ditujukan kepada pemerintah Indonesia. Mereka memperingatkan bahwa UU Cipta Kerja yang baru saja disahkan berpotensi merusak lingkungan khususnya hutan.
Sebanyak 35 investor itu mengelola dana hingga US$ 4,1 triliun. Di dalamnya, terdapat lembaga investasi Aviva Investors, Robeco, Legal & General Investment Management, Church of England Pensions Board, hingga Sumitomo Mitsui Trust Asset Management yang telah mendunia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Selama ini pemerintah selalu mengatasnamakan investasi untuk mengesahkan RUU Cipta Kerja, padahal investor global juga telah menolak. Jadi, UU Cipta Kerja ini diperuntukkan kepada siapa?" ujar Syarief dalam keterangannya, Rabu (7/10/2020)
Anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat ini menyatakan bahwa pandangan dari investor global membuktikan penolakan Partai Demokrat terhadap UU Cipta Kerja (Omnibus Law). "Partai Demokrat semakin kokoh menolak UU Cipta Kerja yang sangat merugikan rakyat,", tegas Syarief.
Ia juga mengungkapkan penolakan dari kaum buruh, mahasiswa, dan elemen masyarakat lainnya, ditambah respon negatif dari investor global harusnya menjadi pertimbangan untuk menunda dan harus mengevaluasi kembali UU Cipta Kerja ini. "Jangan hanya mempertimbangkan korporasi besar, tetapi juga lindungi rakyat dan lingkungan untuk anak cucu kita yang akan datang," ungkap Syarief.
Politisi senior Partai Demokrat ini pun menegaskan agar pemerintah lebih bijak dalam melihat persoalan UU Cipta Kerja.
"Hari ini kita bisa lihat, demonstrasi terjadi dimana-mana dan pemerintah tidak mampu membendungnya. RUU Cipta Kerja yang disahkan dengan cara tidak benar malah menimbulkan polemik baru yang kontraproduktif dengan langkah pemerintah dalam menanggulangi dampak kesehatan dan ekonomi akibat Pandemi COVID-19," pungkasnya.
(prf/ega)