Mahkamah Konstitusi (MK) tidak menerima permohonan mahasiswa Universitas Brawijaya, Muhammad Anis Zhafran Al Anwary yang menggugat UU Nomor 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi dan meminta mahasiswa diberikan hak kebebasan akademik layaknya dosen atau profesor. MK menilai permohonan Anis tak memenuhi syarat formal dan kabur.
"Permohonan Pemohon adalah kabur karena tidak memenuhi syarat formal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dan Pasal 31 UU MK dan Pasal 5 ayat (1) PMK 6/2005," demikian bunyi putusan MK yang dikutip dari website MK, Rabu (30/9/2020).
MK menimbang, dalam permohonan terdapat ketidaksesuaian antara posita permohonan dengan petitum. Dalam menguraikan alasan permohonannya, Anis pada pokoknya menyatakan Pasal 9 ayat (2) UU 12/2012 telah menyebabkan adanya diskriminasi akademik sehingga tidak memberikan hak kebebasan mimbar akademik kepada mahasiswa, tetapi terbatas hanya kepada profesor dan/atau dosen.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Nyatanya, tuntutan Anis tersebut tidak bersesuaian dengan petitum yang meminta agar mahasiswa dapat menyatakan secara terbuka dan bertanggung jawab mengenai sesuatu yang berkenaan dengan rumpun ilmu dan cabang ilmunya dan tetap berada di bawah naungan guru besar dan/atau dosen yang memiliki otoritas dan wibawa ilmiah.
"Dengan adanya ketidaksesuaian petitum dengan uraian alasan-alasan permohonan Pemohon telah dengan sendirinya dalam hal ini Pemohon menyadari ada ketidaksetaraan antara mahasiswa dengan profesor dan/atau dosen," ujarnya.
Selain itu, pemaknaan yang dimohonkan Anis dalam petitum, merupakan suatu praktik yang dilakukan selama ini yang sejalan dengan makna Pasal 9 ayat (2) UU 12/2012. Kebebasan mimbar akademik merupakan wewenang profesor dan/atau dosen, tetapi bukan berarti mahasiswa tidak dapat memiliki hak berpendapat dalam sebuah forum mimbar akademik tersebut. Hak berpendapat dari mahasiswa dalam sebuah mimbar akademik, tetap ada di bawah naungan profesor dan/atau dosen yang memiliki otoritas dalam rumpun dan cabang ilmunya.
"Pemaknaan yang Pemohon minta dalam petitumnya ini sesungguhnya sudah merupakan praktik yang lazim terjadi di perguruan tinggi," putus MK dengan suara bulat.
Dengan demikian, MK mendapati adanya ketidaksesuaian antara posita dan petitum tersebut telah menimbulkan ketidakjelasan atau kabur terhadap permohonan a quo.
"Sehingga Mahkamah sulit untuk memahami maksud permohonan dan tidak mempertimbangkan lebih lanjut pokok permohonan Pemohon," demikian bunyi putusan yang dibacakan pada Selasa (29/9) kemarin.
Seperti diketahui, Anis menggugat Pasal 9 ayat 2 UU Pendidikan Tinggi yang berbunyi:
Kebebasan mimbar akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) merupakan wewenang profesor dan/atau Dosen yang memiliki otoritas dan wibawa ilmiah untuk menyatakan secara terbuka dan bertanggung jawab mengenai sesuatu yang berkenaan dengan rumpun ilmu dan cabang ilmunya.
Tonton video 'Ombudsman Minta Kemendikbud Buat Layanan Pengaduan soal Kuota Gratis':