Muncul isu mengenai validitas hasil tes swab yang dilakukan Badan Intelijen Negara (BIN). BIN menegaskan alat tes swab Corona yang dipakai sudah melewati proses sertifikasi oleh lembaga internasional dan dinyatakan layak sesuai standar.
BIN di antaranya pernah menggelar tes swab di gedung Komisi Pemilihan Umum (KPU) serta di Lembaga Administrasi Negara (LAN). Soal adanya isu akurasi tes swab, BIN mengatakan bahwa pihaknya menggunakan 2 alat RT PCR jenis Qiagen dari Jerman dan Thermo Scientific dari Amerika saat melakukan tes swab.
"Dalam melakukan proses uji spesimen, laboratorium BIN menggunakan 2 jenis mesin RT PCR. Yaitu, jenis Qiagen dari Jerman dan jenis Thermo Scientific dari Amerika Serikat dan memiliki sertifikat Lab BSL-2 yang telah didesain mengikuti standar protokol laboratorium, telah dilakukan proses sertifikasi oleh lembaga sertifikasi internasional, World Bio Haztec (Singapura). Serta melalukan kerja sama dengan LBM Eijkman untuk standar hasil sehingga layak digunakan untuk analisis reverse transcriptase polymerase chain reaction (RT-PCR) yang sesuai standar," kata Deputi VII BIN Wawan Hari Purwanto dalam keterangan tertulis, Minggu (27/9).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: BIN Buka Suara soal Validitas Tes Swab |
Apa yang disampaikan Wawan menanggapi pemberitaan majalah Tempo mengenai validitas tes swab yang dilakukan BIN dalam artikel berjudul 'Prank Corona' dari Pejaten. Pejaten sendiri merupakan lokasi kantor pusat BIN.
![]() |
BIN menerapkan ambang batas standar hasil PCR tes lebih tinggi dibandingkan institusi lain. Ia menjelaskan nilai CT QPCR atau ambang batas bawah hasil tes PCR biasanya adalah 35, tapi BIN menaikkan ambang batas bawah menjadi 40. Hal itu untuk mencegah orang tanpa gejala lolos screening.
"Ambang batas bawah 35, namun untuk mencegah OTG lolos screening maka BIN menaikkan menjadi 40, termasuk melakukan validitas melalui triangulasi 3 jenis gen, yaitu RNP/IC,N dan ORF1ab," sebutnya.
Wawan juga menyebut fenomena hasil positif menjadi negatif itu bukan hal baru. Berdasarkan penjelasan Dewan Analis Strategis Medical Intelligence BIN, termasuk dalam jaringan intelijen di WHO, hal itu disebabkan sejumlah faktor. Apa saja?
Pertama, RNA/protein yang tersisa (jasad renik virus) sudah sangat sedikit, bahkan mendekati hilang, sehingga tak lagi terdeteksi. Apalagi subjek tanpa gejala klinis dan dites pada hari yang berbeda. OTG/asimptomatik yang mendekati sembuh berpotensi memiliki fenomena tersebut.
Kedua, terjadi bias pre-analitik, yaitu pengambilan sampel dilakukan oleh dua orang berbeda dengan kualitas pelatihan berbeda dan SOP berbeda pada laboratorium yang berbeda, sehingga sampel swab cell yang berisi virus COVID tidak terambil dan terkontaminasi.
Ketiga, sensitivitas reagen dapat berbeda terutama bagi pasien yang nilai CQ/CTnya sudah mendekati 40. Dalam kaitan ini, BIN mengaku menggunakan reagen Perkin Elmer dari Amerika, A-Star Fortitude dari Singapura, dan Wuhan Easy Diag dari China. Reagen ini lebih tinggi dalam hal standar dan sensitivitas terhadap strain COVID-19 dibandingkan merek lain, seperti Genolution dari Korea atau Liferiver dari China yang digunakan beberapa rumah sakit.
Baca juga: Suasana Tes Swab di KPU |
Ketiga faktor itulah yang menyebabkan perbedaan hasil uji swab. Namun, Wawan menjamin, kondisi peralatan, metode, dan test kit yang digunakan BIN adalah gold standard dalam pengujian sampel COVID-19.
"BIN menjamin kondisi peralatan, metode, dan test kit yang digunakan adalah gold standard dalam pengujian sampel COVID-19. Kasus false positive dan false negative sendiri telah banyak dilaporkan di berbagai negara, seperti Amerika Serikat, China, dan Swedia," ujar Wawan.
LAN Apresiasi BIN soal Tes Swab
LAN menilai positif kiprah BIN yang berperan dalam pencegahan dan penanggulangan Corona di Indonesia. LAN mengapresiasi langkah BIN menyelenggarakan swab test sebagai upaya testing di lingkungan LAN.
Tes swab yang digelar BIN kepada pegawai LAN digelar pada 21 Juli 2020 lalu. LAN mengatakan tes usap itu merupakan inisiatif LAN.
"Dalam wawancara lewat telepon pada tanggal 24 September 2020, Kepala LAN sama sekali tidak pernah menyampaikan penilaian atau opini terkait perbedaan hasil swab test. Karena hal tersebut jelas bukan merupakan ranah kewenangan dan kompetensi LAN," ujar Kepala Biro Hukum dan Humas LAN, Tri Atmojo Sejati, Senin (28/9/2020). Yang disampaikan Kepala LAN Adi Suryanto menanggapi pemberitaan majalah Tempo mengenai validitas tes swab yang dilakukan BIN.
Peran BIN dalam Penanganan Corona
Dalam kesempatan terpisah, BIN juga menjawab pertanyaan publik mengenai keterlibatan pihak intelijen dalam penanganan pandemi COVID-19. BIN menegaskan keterlibatannya sudah sesuai dengan aturan yang berlaku.
"BIN diberikan kewenangan oleh UU Nomor 17 Tahun 2011 tentang intelijen negara untuk membentuk Satgas dalam pelaksanaan aktivitas intelijen (pasal 30 huruf d). Ancaman kesehatan juga merupakan bagian dari ancaman terhadap keamanan manusia yang merupakan ranah kerja BIN sehingga dengan dasar tersebut BIN turut berpartisipasi secara aktif membantu Satgas Penanganan COVID-19 dengan melakukan operasi medical intelligence (intelijen medis) di antaranya berupa gelaran tes swab di berbagai wilayah, dekontaminasi dan kerja sama dalam pengembangan obat dan vaksin," ujar Wawan Hari Purwanto.
Wawan mengatakan keterlibatan intelijen dalam penanganan kesehatan merupakan hal yang lumrah. Dia mencontohkan hal serupa terjadi di Amerika Serikat (AS).
Nah, jauh sebelum keterlibatan BIN dalam penanganan COVID-19 menjadi perbincangan publik, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebenarnya sudah melibatkan BIN sejak awal pandemi. Kala itu Jokowi meminta BIN, Polri, dan TNI membantu ikut pelacakan kontak pasien Corona.
![]() |
"Setiap ada klaster baru tim reaksi cepat kita pasti masuk, tadi saya sampaikan tim reaksi cepat yang dibantu intelijen BIN dibantu dari intelijen Polri dan TNI," kata Jokowi saat meninjau Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Jumat (13/3).
BIN Juga Ungkap Permodelan Puncak Corona
Tak hanya ikut membantu pelacakan, BIN juga mengungkap permodelan yang dibuat pemerintah terkait penyebaran virus Corona. Saat itu, BIN mengungkap puncak kasus Corona terjadi 60-80 hari sejak pertama kali diumumkan atau pada April-Mei saat memasuki Ramadhan.
"Jadi, kalau kita hitung-hitung, masa puncak itu mungkin jatuhnya di bulan Mei, berdasarkan permodelan ini. Bulan puasa, bulan puasa," kata Deputi V BIN Afini Boer dalam diskusi 'Bersatu Melawan Corona' di Little League, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat (13/3).
Afini juga mencontohkan permodelan yang ada di China dan Inggris. Untuk kasus di Indonesia, permodelan dibuat sesuai dengan data-data terkait Corona yang sudah ada.
"Di Indonesia sebetulnya bekerja sama dengan beberapa pihak, itu sama juga membuat permodelan dari data yang sudah ada. Dari permodelan yang ada, kita memperkirakan bahwa masa puncak di Indonesia itu akan berlaku 60-80 hari sejak infeksi pertama itu diumumkan tanggal 2 Maret," kata Afini.
BIN juga ikut memprediksi penularan Corona jika ada konsentrasi massa saat salat Idul Fitri 1441 H. Hal itu disampaikan Menag Fachrul Razi.
"BIN memberikan prediksi, kalau kita masih melakukan salat Id di luar, maka akan terjadi pelonjakan angka penularan COVID-19 yang signifikan," kata Fachrul dalam konferensi video seusai rapat terbatas, Selasa (19/5).