Jakarta -
Polemik seorang pimpinan lembaga antikorupsi yang menggunakan helikopter mewah berujung pada keputusan pelanggaran kode etik. Namun sanksi yang dijatuhkan untuk Ketua KPK Firli Bahuri itu termasuk ringan.
"Menghukum terperiksa sanksi ringan," ujar Tumpak H Panggabean selaku Ketua Dewan Pengawas (Dewas) KPK saat membacakan amar putusan dalam sidang etik terhadap Firli Bahuri pada Kamis, 24 September 2020.
Semua bermula saat Firli diketahui menggunakan helikopter mewah dalam perjalanan dari Palembang ke Baturaja pada Sabtu, 20 Juni 2020. Lantas Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) yang digawangi Boyamin Saiman melaporkan peristiwa itu ke Dewas KPK.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Boyamin menyebut Firli menaiki helikopter milik perusahaan swasta dengan kode PK-JTO saat perjalanan dari Palembang menuju Baturaja. Menurutnya, Firli patut diduga melanggar aturan tentang kode etik pimpinan KPK terkait larangan bergaya hidup mewah.
Aturan tentang larangan insan KPK bergaya hidup mewah itu tertuang dalam Peraturan Dewan Pengawas Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK, poin 27 aspek integritas mengatakan: Kode Etik dari Nilai Dasar Integritas tercermin dalam Pedoman Perilaku bagi Insan Komisi sebagai berikut: Tidak menunjukkan gaya hidup hedonisme sebagai bentuk empati kepada masyarakat, terutama kepada sesama Insan Komisi.
Atas laporan itu, Dewas KPK menerimanya. Dewas KPK akan menindaklanjuti laporan tersebut.
Ketua KPK Firli Bahuri saat naik helikopter ke Baturaja, OKU, Sumsel (Dok. MAKI) |
Laporan pun berproses hingga akhirnya Dewas KPK menjatuhkan keputusan pada Kamis, 24 September 2020. Firli Bahuri terbukti melanggar kode etik tetapi sanksi yang dijatuhkan menjadi sorotan.
"Sanksi ringan berupa teguran tertulis II agar terperiksa tidak mengulangi perbuatannya," kata Tumpak.
Hal yang memberatkan adalah Firli tidak menyadari perbuatannya terkait naik helikopter mewah itu melanggar kode etik. Sedangkan hal yang meringankan, Firli belum pernah dihukum akibat pelanggaran kode etik.
Mendengar putusan itu Firli Bahuri meminta maaf. Dia mengaku tidak akan lagi mengulangi perbuatan yang sama.
"Saya memohon maaf kepada seluruh masyarakat Indonesia yang mungkin tidak nyaman," kata Firli saat sidang tersebut.
"Putusan saya terima. Saya pastikan saya tidak akan pernah mengulanginya," sambungnya.
Dengan putusan ini, Firli dilarang melakukan perbuatan serupa selama kurun waktu enam bulan. Jika dia melakukan pelanggaran dalam kurun waktu enam bulan, Firli akan langsung mendapatkan sanksi yang lebih berat berupa sanksi kategori sedang.
Dalam Peraturan Dewas KPK Nomor 02 Tahun 2020 disebutkan, ada 3 jenis sanksi. Salah satunya adalah sanksi kategori ringan dalam bentuk tertulis II seperti yang dijatuhkan kepada Firli.
Berikut ini penjelasannya dari jenis pelanggaran dalam Peraturan Dewas tersebut. Putusan untuk Firli merujuk pada Pasal 10 ayat 2 huruf c.
Pasal 9
(1) Pelanggaran terdiri atas:
a. Pelanggaran Ringan;
b. Pelanggaran Sedang; dan
c. Pelanggaran Berat.
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7 dan Pasal 8 dapat diklasifikasikan sebagai Pelanggaran Ringan, Sedang, atau Berat berdasarkan pada dampak atau kerugian yang ditimbulkan.
(3) Klasifikasi dampak atau kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2):
a. Dampak atau kerugian terhadap Kedeputian dan/atau Sekretariat Jenderal termasuk Pelanggaran Ringan.
b. Dampak atau kerugian terhadap Komisi termasuk Pelanggaran Sedang.
c. Dampak atau kerugian terhadap Negara termasuk Pelanggaran Berat.
Pasal 10
(1) Sanksi terdiri atas:
a. Sanksi Ringan;
b. Sanksi Sedang; dan
c. Sanksi Berat.
(2) Sanksi Ringan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdiri atas:
a. Teguran Lisan, dengan masa berlaku hukuman selama 1 (satu) bulan;
b. Teguran Tertulis I, dengan masa berlaku hukuman selama 3 (tiga) bulan;
c. Teguran Tertulis II, dengan masa berlaku hukuman selama 6 (enam) bulan.
(3) Sanksi Sedang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, terdiri atas:
a. pemotongan gaji pokok sebesar 10% (sepuluh persen) selama 6 (enam) bulan;
b. pemotongan gaji pokok sebesar 15% (lima belas persen) selama 6 (enam) bulan;
c. pemotongan gaji pokok sebesar 20% (dua puluh persen) selama 6 (enam) bulan.
(4) Sanksi Berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c bagi Dewan Pengawas dan Pimpinan, terdiri atas:
a. pemotongan gaji pokok sebesar 40% (empat puluh persen) selama 12 (dua belas) bulan;
b. diminta untuk mengajukan pengunduran diri sebagai Dewan Pengawas dan Pimpinan.
(5) Sanksi Berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c bagi Pegawai, terdiri atas:
a. pemotongan gaji pokok sebesar 30% (tiga puluh persen) selama 12 (dua belas) bulan:
i. bagi Pegawai pada Rumpun Jabatan Struktural, diberhentikan dari jabatannya dan ditempatkan pada Rumpun Jabatan Fungsional dengan Tingkat Jabatan yang lebih rendah dari Tingkat Jabatan sebelumnya;
ii. bagi Pegawai pada Rumpun Jabatan Spesialis/Administrasi, diturunkan Tingkat Kompetensinya sebanyak 2 (dua) jenjang.
b. diminta untuk mengajukan pengunduran diri;
c. diberhentikan tidak dengan hormat sebagai Pegawai Komisi.
Pasal 11
(1) Sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dijatuhkan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Sanksi Ringan terhadap Pelanggaran Ringan;
b. Sanksi Sedang terhadap Pelanggaran Sedang; dan
c. Sanksi Berat terhadap Pelanggaran Berat.
(2) Dalam hal terjadi pengulangan Pelanggaran oleh Insan Komisi pada jenis pelanggaran yang sama maka Sanksi dapat dijatuhkan satu tingkat di atasnya.
Pasal 12
(1) Insan Komisi yang sedang menjalani Sanksi Ringan, Sedang, dan/atau Berat tidak dapat mengikuti program promosi, mutasi, rotasi, dan/atau tugas belajar/pelatihan baik yang diselenggarakan di dalam, maupun di luar negeri.
(2) Insan Komisi yang sedang menjalani Sanksi Sedang dan Berat tidak dapat dinaikkan Tingkat Jabatan dan/atau Tingkat Kompetensinya.
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini