Polemik jabatan Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPD RI mencuat ke publik. Wacana membawa polemik tersebut ke ranah hukum pun menggema.
Adalah anggota DPD Yorrys Raweyai yang mengungkapkan akan membawa polemik Sekjen DPD ini ke polisi. Sebab, dia menilai ada dugaan tindak pidana yang dilakukan.
"Nah kesimpulan yang kami dapatkan dari berbagai macam penelusuran ke mana-mana. Selama bulan Mei sampai dengan ini hari, semua kebijakan yang dikeluarkan sekjen dan di tanda tangani oleh dia (sekjen), baik pengelolaan, anggaran dan sebagainya, itu cacat hukum dan masuk ke ranah pidana," ujar Yorrys kepada wartawan Rabu (23/9/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Pelaporan ke polisi kini tengah disusun. Rencananya, laporan akan dilayangkan ke dua instansi, Polri dan Ombudsman RI.
"Ini yang kami akan mulai menyusun kronologi dan lain sebagainya untuk melaporkan ke Bareskrim Polri dan Ombudsman tentang hal ini," sebut Yorrys.
Polemik Sekjen DPD ini berawal dari penerbitan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 39 Tahun 2020, yang isinya mencopot Reydonnyzar Moenek dari jabatan Sekjen DPD. Keppres tersebut ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 6 Mei 2020 lalu, dan diterima Sekretariat Kesekjenan DPD pada 8 Mei.
Dalam keppres tersebut, Jokowi mencopot Reydonnyzar untuk menduduki jabatan baru, tapi bukan jabatan struktural. Reydonnyzar diangkat menjadi Analisis Kebijakan Ahli Utama pada Setjen DPD.
Namun, hingga saat ini Reydonnyzar tetap menduduki jabatan Sekjen DPD. Bahkan Reydonnyzar sempat menggelar proses seleksi Sekjen DPD baru.
Polemik ini pun terendus oleh Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg). Plt Deputi Bidang Administrasi Aparatur, Setya Utama menjelaskan bahwa pemberhentian pejabat pimpinan tinggi madya terhitung sejak yang bersangkutan dilantik dalam jabatan barunya.
"Seorang pejabat pimpinan tinggi madya diberhentikan dari jabatan strukturalnya terhitung mulai tanggal pelantikan dalam jabatan yang baru. Artinya, pada saat dilantik sebagai pejabat fungsional ahli utama, pada saat itu yang bersangkutan berhenti dari jabatan strukturalnya," papar Setya dalam wawancaranya dengan Asisten Deputi Bidang Hubungan Masyarakat Kemensetneg, Eddy Cahyono Sugiharto, yang dirilis di situs Kemensetneg, Rabu (23/9).
Terkait waktu pelantikan, ada aturan yang menjadi rujukan waktu pelantikan, yakni PP Nomor 11 Tahun 2017 dan peraturan BKN. Dalam peraturan BKN itu, pelantikan paling lambat digelar 30 hari kerja keputusan pengangkatan ditetapkan. Namun, dikecualikan jika penetapan itu ditetapkan oleh presiden.
"Sejak keppres tentang pengangkatannya ditetapkan, tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan pelantikan merupakan kebijakan pimpinan instansi, disesuaikan dengan kebutuhan organisasi di instansi masing-masing, mengingat pelantikan dalam jabatan fungsional ahli utama yang diangkat melalui perpindahan jabatan dari pimpinan tinggi berkonsekuensi terhadap pemberhentian dari jabatan strukturalnya," papar Setya.
Terkait dengan kasus Reydonnyzar, ada aturan Mensesneg Nomor B-143/M.Sesneg/D-3/AP.01/02/2018 yang bisa jadi pijakan. Di sana diatur pengangkatan dan pemberhentian dari jabatan fungsional ahli utama, khusus yang memasuki usia 60 tahun harus segera dilantik sebelum yang bersangkutan berusia 60 tahun.
"Dengan demikian, dalam kasus ini, Dr Drs Reydonnyzar Moenek, M.Devt, harus dilantik sebagai analis kebijakan ahli utama sebelum yang bersangkutan berusia 60 tahun. Jadi harus dilakukan paling lambat sebelum 14 November 2020 (Reydonnyzar lahir 14 November 1960)," pungkas Setya.
Lantas, apakah wacana melaporkan polemik ini ke polisi benar-benar terealisasi? Tunggu perkembangannya di detikcom.