"Di sini sebenarnya ada beberapa yang baru yang sebelumnya tidak ada, contohnya adalah klaster hotel sudah mulai ada, pesantren ada, hiburan malam juga mulai ada," kata Tim Pakar Satgas COVID-19, dr Dewi Nur Aisyah dalam siaran YouTube BNPB, Rabu (23/9/2020).
Dewi menyebut ditemukan 3 kasus pada klaster perhotelan dan masih terus dilakukan penyelidikan oleh Satgas. Namun ia mengatakan, memang muncul beberapa tempat penularan Corona baru, termasuk acara pernikahan.
"Kegiatan pernikahan juga udah mulai muncul sekarang. Sudah ada 25 orang terinfeksi, walaupun kecil ya, tapi tetap ini sebuah kegiatan yang berpotensi jadi tempat penularan," jelasnya.
Dewi mengatakan kewaspadaan terhadap penularan virus Corona harus ditingkatkan. Sebab, kemunculan klaster baru mungkin saja terjadi.
"Jadi ini beberapa contoh beberapa klaster baru yang sebelumnya belum ada, yang artinya kita harus lebih waspada lagi," terang Dewi.
Dewi juga memaparkan data klaster Corona sebelum pembatasan sosial berskala besar (PSBB) ketat di lakukan. Saat PSBB transisi yang berlaku hingga 12 September lalu di Jakarta, klaster Corona terbanyak adalah pasien yang berobat ke rumah sakit.
"Dari data klaster atau sebaran kasus yang ada di DKI Jakarta pada masa PSBB Transisi sejak tanggal 4 Juni sampai 12 September 2020. Sebaran kasus dari pasien yang datang dari rumah sakit. Yang kedua adalah pasien yang berasal dari komunitas, termasuk hasil contact tracing dari puskesmas, termasuk klaster keluarga masuk kategori ini. Ketiga adalah perkantoran," ungkap Dewi.
Laporan adanya klaster hiburan malam di Jakarta menjadi pertanyaan. Ini mengingat Jakarta tengah memperlakukan PSBB ketat yang tidak memperbolehkan tempat hiburan malam untuk buka.
Pemprov DKI berjanji akan mengeceknya. "Saya cross-check dulu ya, sama tim internal kami seperti apa beritanya," ucap Gumilar.
Mengenai laporan baru ini, Asosiasi Pengusaha Hiburan Jakarta (Asphija) membantahnya. Aspija mengaku belum ada laporan soal ada tempat hiburan malam yang jadi klaster COVID.
"Nggak ada. Kita merasa dirugikan dengan adanya pernyataan tersebut. Mana datanya? Kita juga belum buka. Dituduh ada kasus, ini menjelekkan nama industri hiburan," ucap Ketua Asphija, Hana Suryani, saat dihubungi, Rabu (23/9/2020).
Hana menyebut industri hiburan malam belum diizinkan buka sejak akhir Maret 2020. Karena itu, dia heran jika ada informasi hiburan malam menjadi klaster COVID.
"Dipastikan tidaknya karena memang industri saya belum ada izin. Makanya tadi dari Dinas Pariwisata juga bingung. Katanya mau cari (datanya)," ujar Hana.
Dia meminta Satgas COVID-19 memberikan penjelasan lebih mengenai klaster hiburan malam. Degan begitu, kata Hana, ada kejelasan soal lokasi klaster dan benar-tidaknya kasus tersebut.
"Kita tanyakan, Satgas Pusat ngomong pake apa? Nggak boleh dong kayak begitu. Kalau dia ngomong kayak begitu, menampar Dinas Pariwisata, kasihan dong, seakan ada kecolongan," ucapnya.
Sebelum adanya laporan mengenai klaster pernikahan dan hiburan malam, klaster perkantoran juga sempat menjadi sorotan karena jumlahnya yang signifikan. Oleh karena itu, Dinas Ketenagakerjaan, Transmigrasi, dan Energi (Disnakertrans) DKI membentuk tim pengawas perkantoran selama PSBB ketat.
Kapasitas perkantoran di DKI Jakarta, baik pemerintah maupun swasta, diatur sebesar 25 persen selama PSBB ketat. Bilamana ditemukan ada kasus positif virus Corona baru, gedung perkantoran itu akan ditutup setidaknya selama tiga hari.
Kadisnakertrans DKI Jakarta Andri Yansyah mengatakan, akan ada 25 tim yang bertugas. Dia mengatakan satu tim dapat mengawasi tiga perkantoran dalam satu hari.
"Iya kita melaksanakan tupoksi dari kita saja. Kita sekarang ini membentuk satu Sudin itu lima tim, di mana tim itu terdiri dari 4 orang. Jadi di DKI ada sekitar 25 tim. 25 tim itu per tim kita targetkan satu hari minimal bisa melakukan pengawasan tiga perkantoran," ujar Andri, Senin (14/9).
Andri menerangkan, tim bentukan Disnakertrans DKI itu akan mengawasi pembatasan jumlah karyawan sesuai dengan kapasitas yang ditentukan, penerapan protokol kesehatan. Kemudian melakukan pengawasan apakah ada karyawan yang terpapar virus Corona atau tidak di perkantoran.
"Pertama pembatasan karyawan, kedua protokol kesehatan, ketiga apabila ditemukan karyawan yang terkonfirmasi positif COVID-19. Ada tiga fokus," sebutnya.
Lebih lanjut Andri mengatakan, pelibatan TNI-Polri dilakukan apabila ada perkantoran yang melakukan perlawanan saat dilakukan pengawasan. Namun, selama tidak ada perlawanan, cukup dari 25 tim saja yang bertugas.
"Keterlibatan TNI-Polri sangat dibutuhkan bila kita mendapati perusahaan atau kantor yang gini, apabila ada perlawanan atau hambatan dalam kita melakukan pengawasan, pemeriksaan di perkantoran atau perusahaan. Selama itu tidak ada perlawanan, semua berjalan kondusif, cukup anggota kita saja yang melakukan itu," ucap Andri.
Selain perkantoran, klaster keluarga juga sempat menjadi perhatian di ibu kota. Pemprov DKI sendiri mencatat lebih dari 7 ribu kasus yang berasal dari klaster keluarga. dr Dewi Nur Aisyah menjelaskan klaster keluarga di DKI Jakarta sendiri tercatat dari 1.515 anggota keluarga sebelumnya. Hingga akhirnya menyebar ke beberapa anggota keluarga lain dengan total kasus lebih dari 7 ribu.
"Jadi ada salah satu anggota keluarga yang ternyata positif nih, ini ada 1.515, ini bisa ayah bisa ibu, bisa anak, bisa siapapun," sebut Dewi.
"Tetapi dari satu orang positif ini karena dia interaksi dengan keluarga, bisa dengan suami, istri, ayah ibu dan anak-anaknya, muncullah beberapa orang yang ternyata juga positif," lanjutnya.
Satgas Penanganan COVID-19 sendiri mencatat ada 6 klaster penyumbang angka kasus Corona terbanyak. Enam klaster itu adalah rumah sakit, komunitas, perkantoran, anak buah kapal (ABK) atau pekerja migran Indonesia (PMI), pasar, dan puskesmas.
Pemprov DKI kini tengab mengatur rencana peraturan daerah (Raperda) DKI Jakarta tentang penanganan Corona. Raperda itu akan mengatur soal sanksi pidana bagi pelanggar protokol kesehatan lantaran sanksi pi dana tak bisa diatura dalam peraturan gubernur (pergub).
"Ada ketentuan peraturan perundang-undangan, pergub atau kepgub (keputusan gubernur) tidak bisa mengatur sanksi pidana," ucap Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria.
Riza menilai sanksi pidana pelanggaran protokol kesehatan perlu diatur. Dengan begitu, sebut diam aparat penegak hukum bisa menindaklanjuti kasus-kasus yang muncul.
"Mudah-mudahan melalui perda ini dimungkinkan (untuk mengatur sanksi pidana), sehingga aparat hukum dapat menindaklanjuti temuan-temuan yang ada di lapangan," jelasnya.
Namun demikian, Riza tidak menjelaskan lebih detail mengenai sanksi pidana dimaksud. Dia hanya memastikan apa yang dituangkan dalam Raperda tentang Penanganan COVID-19 akan disinkronkan dengan UU yang sudah ada.
"Ya semua nanti diatur, ya. Jadi saya tidak mau mendahului nanti sampai memang ada usulan-usulan terkait pidana di beberapa hal, termasuk jenis kegiatan yang dianggap melanggar," ucap Riza.
"Namun semua nanti dibuat tidak boleh juga aturan Perda melebihi dari pada undang-undang yang ada, semua akan kita koordinasikan sinkronkan dan kita harmonisasi dengan peraturan perundangan," imbuhnya.
Berikut ini data klaster di DKI Jakarta 4 Juni-12 September 2020:
1. Hotel: 3 kasus (0,01%)
2. Pesantren: 4 kasus (0,01%)
3. Hiburan malam: 5 kasus (0,01%)
4. Pengungsian: 6 kasus (0,02%)
5. Sekolah: 19 kasus (0,05%)
6. Kegiatan pernikahan: 25 kasus (0,07%)
7. Panti asuhan: 36 kasus (0,09%)
8. Rutan: 63 kasus (0,16%)
9. Kegiatan keagamaan: 104 kasus (0,27%)
10. Asrama: 188 kasus (0,31%)
11. Pegawai di puskesmas: 220 kasus (0,57%).
12. Pasar: 622 kasus (1,62%)
13. Pegawai di RS: 665 kasus (1,73%)
14. ABK/PMI: 1.641 kasus (4,27%)
15. Perkantoran: 3.194 kasus (8,31%)
16. Pasien di komunitas: 15.133 kasus (39,36%)
17. Pasien rumah sakit: 24.400 kasus (63,46%)