Meningkatnya pernikahan dini selama pandemi bukan hanya terjadi di Indonesia. Di India juga dilaporkan adanya peningkatan pernikahan anak selama pandemi COVID-19.
Di India, perempuan berusia di bawah 18 tahun tidak diperbolehkan menikah. Meski begitu, India adalah negara dengan jumlah pernikahan anak tertinggi di dunia, berdasarkan catatan UNICEF. Dilansir dari BBC, Sabtu (19/9), angka pernikahan anak di India itu diperkirakan melonjak tajam tahun 2020.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pengelola layanan kontak bantuan khusus anak, Childline, menyebut aduan terkait pernikahan dini yang mereka terima meningkat hingga 17%. Persentase itu dihitung pada Juni-Juli lalu dibandingkan periode yang sama tahun 2019.
Selama karantina wilayah di India akibat pandemi, menurut data pemerintah India, lebih dari 10 juta pekerja kembali ke daerah asal mereka di pedesaan. Dalam situasi sulit itu, banyak orang tua di pedesaan menganggap menikahkan anak perempuan mereka akan menjamin kesejahteraan keluarga.
"Di masyarakat dengan kemiskinan ekstrem, anak-anak perempuan tidak didukung untuk bersekolah. Begitu mereka meninggalkan sekolah, sulit untuk meyakinkan keluarga untuk kembali melepas anak mereka," kata Smita Khanjow, dari Action Aid.
Action Aid selama ini bekerja sama dengan UNICEF untuk mengatasi persoalan pernikahan anak di lima negara bagian India.
Tren peningkatan pernikahan anak selama pandemi di kamp pengungsi Rohingya di Bangladesh dilaporkan oleh PBB pada Kamis (17/9). PBB juga melaporkan adanya tren peningkatan perdagangan manusia di kamp pengungsi Rohingya di Bangladesh selama pandemi. Corona.
Berdasarkan data PBB, dari sekitar 700.000 pengungsi Rohingya yang tiba di Bangladesh pada tahun 2017, lebih dari setengahnya merupakan anak-anak. Mereka melakukan eksodus massal dari Myanmar.
Bangladesh mengurangi aktivitas bagi kaum muda di kamp-kamp pengungsian semenjak April dan memfokuskan pada pelayanan kesehatan darurat dan penyediaan makanan sebagai upaya mencegah penyebaran virus korona. Para aktivitas relawan pun juga dibatasi.
Akibatnya banyak pelayanan untuk anak-anak terhenti dan membuat mereka semakin sulit mendapatkan bantuan. Penelitian dilakukan pada bulan Mei dan pejabat PBB mengatakan hal tersebut masih berlangsung hingga kini.
"Sebelum COVID-19 melanda ada aktivitas kemanusiaan yang lebih besar dan ... ruang yang ramah. Anak-anak dapat berbicara dengan fasilitator dan berbagi keresahan mereka dengan teman-teman. Pelayanan tersebut tidak tersedia kepada banyak orang sekarang," kata Kristen Hayes, koordinator sektor Perlindungan Anak yang bekerja di bawah naungan PBB.
Akibat kondisi terbaru itu, pernikahan anak di kamp pengungsi warga Rohingya di Bangladesh meningkat.
"Perkawinan anak meningkat karena tidak adanya tindakan pencegahan," kata Hayes.
BRAC, sebuah LSM Bangladesh yang beroperasi di kamp, mengatakan bahwa mereka menemukan banyak kasus pernikahan di bawah umur, kekerasan terhadap anak, dan KDRT.
"Untuk saat ini, kami mencoba mengatasi masalah ini melalui konseling online perorangan dengan relawan kami," papar juru bicara BRAC, Hasina Akhter.
Di Asia sendiri, angka pernikahan anak diyakini meningkat bak bola salju oleh sejumlah LSM. Ini terjadi selama periode lockdown akibat pandemi Corona.
"Telah terjadi peningkatan pernikahan anak selama periode lockdown. Pengangguran merajalela, PHK dimana-mana. Banyak keluarga tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup mereka, jadi mereka pikir menikahkan anak perempuan mereka adalah pilihan terbaik," ujar Rolee Singh yang terkenal aktif mengkampanyekan "1 Step 2 Stop Child Marriage" di India.
Singh melihat bahwa keluarga menganggap pernikahan anak sebagai solusi masalah keuangan mereka tanpa peduli dampaknya terhadap sang anak.
"Kami juga melihat anak-anak menikah karena pihak lain menawarkan uang atau semacam bantuan sebagai imbalan. Keluarga-keluarga ini tidak paham konsep perdagangan anak," tuturnya.
Senada dengan Singh, Jha khawatir kebijakan lockdown yang menyebabkan anak-anak tidak bersekolah dan tidak memiliki aktivitas akhirnya terjerumus ke perbuatan zina.
"Ketakutan terbesar yang dimiliki keluarga adalah gadis remaja mungkin menjadi dekat dengan anak laki-laki, dan mengeksploitasi kegiatan seksual, dan akhirnya hamil," jelas Jha.
(elz/lir)