Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 serentak akan dilaksanakan pada Desember mendatang. Berbagai tuntutan untuk menunda terselenggaranya Pilkada muncul belakangan ini, karena kasus virus corona (COVID-19) kian meningkat.
Di tengah tuntutan penundaan Pilkada, ada kabar mengejutkan dari penyelenggara pemilu, KPU. Ketua KPU Arief Budiman dinyatakan positif Corona.
Hal itu diketahui saat tes swab yang dilakukan pada 17 September. Tes itu awalnya akan digunakan untuk persyaratan mengikuti rapat bersama Presiden Joko Widodo (Jokowi).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tanggal 16 September saya melakukan rapid test dengan hasil non reaktif. Tanggal 17 September, malam hari, melakukan tes swab untuk digunakan sebagai syarat menghadiri rapat di Istana Bogor tanggal 18 September, dengan hasil positif," kata Arief dalam keterangan tertulisnya, Jumat (18/9/2020).
Alhasil, Arief tidak bisa mengikuti rapat dengan Jokowi. Rapat diwakili oleh anggota KPU lainnya.
"Kehadiran dalam rapat selanjutnya diwakili oleh anggota KPU," ujarnya.
![]() |
Arief kini tengah menjalani isolasi mandiri. Dia mengatakan tidak ada gejala yang dirasa oleh dirinya.
"Tanggal 18 dini hari sudah mulai melakukan karantina mandiri karena tidak terdapat gejala, batuk, panas, pilek ataupun sesak nafas," jelasnya.
Bukan hanya Arief, salah satu komisioner KPU, Evi Novida Ginting juga telah terkonfirmasi positif COVID-19 sebelumnya. Evi positif tanpa gejala. Evi kini tengah menjalani isolasi mandiri di rumah, tapi masih aktif bekerja secara daring.
Sebelumnya, Tuntutan itu salah satunya datang dari Gubernur Banten Wahidin Halim mengusulkan penundaan Pilkada 2020 jika kasus Corona atau COVID-19 terus meningkat. Di wilayahnya ada empat daerah yaitu Pandeglang, Kota Tangerang Selatan, Kabupaten Serang dan Kota Cilegon yang menyelenggarakan Pilkada.
"Kalau saya mengusulkan, dipertimbangkan kalau kondisi September masih begini, Oktober dipertimbangkan (Pilkada) untuk ditunda," kata Wahidin kepada detikcom, Jumat (18/9/2020).
Alasannya, Pilkada berpotensi ada pengerahan dan mobilisasi massa. Belum lagi jika tidak menggunakan protokol kesehatan jika massa yang kampanye termasuk ke TPS.
Selain itu, Komite I Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) meminta agar Pilkada 2020 ditunda. Alasannya, Komite I DPD RI khawatir atas kasus virus Corona (COVID-19) yang masih terus meningkat di Indonesia.
Wakil Ketua Komite I DPD RI Ir H Djafar Alkatiri mengaku permintaan penundaan itu merupakan keputusan bersama melalui keputusan Komite l dan juga disepakati di Sidang Paripurna. Komite I, kata Djafar, tidak ingin Pilkada jadi penyebab munculnya klaster baru di Indonesia.
"Artinya bahwa ini juga melibatkan 105 juta pemilih, sehingga kekhawatiran kita akan timbul klaster baru, karena setiap TPS 500 orang pemilih," ujar senator DPD RI asal Sulawesi Utara itu, Senin (14/9/2020)
Pertimbangan kedua, kata Djafar, adalah persoalan undang-undang mengenai tahapan Pilkada di Indonesia yang belum 'ramah' COVID-19. Misalnya, pemungutan suara melalui e-voting seperti di Korea Selatan.
"Dan mereka undang-undangnya sudah acceptable dengan protokol COVID-19. Di sana sudah e-voting, bisa e-mail, kita belum, jadi pemilukada kita tahun ini 2020 masih menggunakan undang-undang sama dengan pemilukada 2019, karena itulah sangat berbahaya," terang Djafar.
Pemerintah pun menanggapi usulan penundaan tersebut. Menko Polhukam Mahfud Md menilai penundaan Pilkada 2020 sulit diwujudkan karena berbagai alasan.
"Masalah COVID-19 ini kalau kita disiplin selesai. Tapi kan banyak yang lalai, tidak disiplin sehingga diusulkan Pilkada ditunda tahun depan. Kalau ditunda itu prosedurnya kalau mau ubah UU dalam waktu dekat itu nggak mungkin, sudah kurang dari 2-3 bulan, itu harus masuk Prolegnas, itu hanya bisa dengan Perppu, Perppu tergantung KPU mau usulkan nggak," kata Mahfud dalam diskusi daring Kelompok Studi Demokrasi Indonesia (KSDI) bertajuk 'Evaluasi 6 Bulan dan Proyeksi 1 Tahun Penanganan COVID-19 di Indonesia', Sabtu (12/9/2020).
![]() |
Mahfud menilai, usulan soal Pilkada Serentak kembali ditunda sulit diwujudkan karena perubahan UU membutuhkan waktu. Selain itu, penerbitan Perppu juga perlu persetujuan DPR dan belum tentu disetujui.
"Kemarin kan KPU dan DPR sepakat tunda, lalu presiden keluarkan Perppu-nya sehingga ketika dibahas lagi di DPR selesai, tidak ribut. Kalau presiden mengeluarkan sepihak juga kalau DPR menolak celaka itu, sudah telanjur batal, ditolak," ungkap Mahfud.