Paguyuban Tunggal Rahayu di Garut bak 'negara jadi-jadian'. Kelompok tersebut mengubah lambang negara Garuda Pancasila dan mencetak duit sendiri. Kenapa komunitas-komunitas seperti ini terus ada?
Paguyuban di Cisewu ini dipimpin oleh Mister Sutarman, yang mengaku sebagai Profesor Dr Ir H Cakraningrat SH. Dia mengklaim punya 13 ribu anggota yang tersebar di 34 provinsi. Pengikutnya mengaku sepekan sekali berkumpul untuk pengajian.
Kelompok seperti ini bukan yang pertama. Sebut saja Sunda Empire yang sempat heboh. Ada pula kelompok King of the King di Bandung atau Kerajaan Ubur-ubur di Banten.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini bukan gejala hari ini saja," kata pemerhati budaya Sunda, Hawe Setiawan, kepada detikcom, Sabtu (12/9/2020).
Hawe mengamati kelompok-kelompok 'negara jadi-jadian' semacam itu muncul sebagai bentuk ekspresi masyarakat. Gejala sosial ini muncul sejak dulu hingga sekarang. Saat ini, ekspresi ini semakin mudah terlihat banyak orang karena bantuan teknologi internet, media sosial.
Masyarakat dunia, termasuk Sunda, punya konsep ratu adil, milenarisme, atau mesianisme. Masyarakat menantikan sosok yang bisa membebaskan mereka dari kesengsaraan, konkretnya adalah kesengsaraan ekonomi, bisa juga kebutuhan spiritual.
"Ini ekspresi kesulitan ekonomi juga bisa, atau mencari tambatan dan harapan perbaikan hidup, lantaran tidak semua harapan masyarakat terakomodasi oleh sistem yang berlaku," kata Hawe.
Di tengah kerinduan akan sosok ideal ratu adil itu, kelompok-kelompok nyentrik muncul membawa simbol-simbol budaya lokal. Mengutip Sartono Kartodirdjo, Hawe mengatakan gerakan ratu adil di masa lalu juga pernah muncul di Banten, Majalengka, Cirebon, Kuningan, dan daerah lainnya di Tatar Sunda. Jadi ini bukan fenomena sosial yang baru.
![]() |
Tonton video 'Tentang Paguyuban yang Bikin Heboh karena Ubah Lambang Garuda':
Meski begitu, fenomena ini juga tidak eksklusif muncul di masyarakat Sunda saja. Di berbagai daerah juga ada. Acap kali kelompok semacam ini muncul dengan menonjolkan identitas kebudayaan. Tak jarang pula kelompok seperti ini sekadar penipu yang mencari keuntungan duit dari masyarakat yang teperdaya. Masyarakat harus jeli.
"Saya percaya masyarakat tidak bodoh kok, mereka punya kesanggupan untuk menyerap informasi," kata Hawe.
Dihubungi detikcom secara terpisah, sosiolog dari UGM Arie Sujito menganggap fenomena kelompok 'negara jadi-jadian' yang aneh-aneh itu tidak perlu dibesar-besarkan. Apalagi saat ini Indonesia perlu berkonsentrasi menghadapi COVID-19.
"Negara tidak perlu terancam dengan hal-hal seperti ini. Kelompok-kelompok seperti itu sekadar romantisme kultural saja," kata Arie.
![]() |
Di zaman teknologi informasi, masyarakat, terlebih anak muda, sudah semakin rasional. Arie percaya masyarakat tidak mudah tertipu oleh kelompok semacam Paguyuban Tunggal Rahayu di Garut dan sejenisnya.
"Yang paling penting adalah seberapa besar legitimasi masyarakat atas kelompok itu. Apabila kelompok semacam itu tidak mendapatkan legitimasi masyarakat (tidak diakui secara luas), maka kelompok-kelompok semacam itu akan dilupakan dengan sendirinya," kata Arie.
Di luar tanah Pasundan, pada awal tahun pernah muncul kerajaan fiktif bernama Keraton Agung Sejagat di Purworejo, Jawa Tengah. Pengikutnya banyak juga saat itu. Sosiolog dari Universitas Indonesia (UI) Imam B Prasodjo menilai kelompok itu adalah kesukuan baru (neotribalisme).
Neotribalisme tumbuh karena dalam solidaritas yang kemudian ditambahkan narasi-narasi. Untuk kasus kerajaan fiktif, mitologi cerita kerajaan jadi pembungkus narasi.
"Nah, narasi-narasi atau pemaknaan-pemaknaan yang bersumber dari campuran yang sebenarnya tidak jelas sumbernya. Tapi orang senang saja membuat cerita. Apalagi di Indonesia ini kan orang berbakat buat cerita-cerita. Ini campuran dari pengetahuan modern dan tradisional tapi bukan kajian akademis. Makanya ceritanya kacau. (Contohnya) Kekaisaran Matahari itu dari mana datangnya itu," kata Imam Prasodjo, 18 Januari silam.