Satu individu bayi orang utan bernama Covita dievakuasi petugas Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Barat (Kalbar) dari rumah seorang warga. Orang utan betina tersebut diselamatkan karena dipelihara secara ilegal oleh seorang warga.
Covita terlihat kurus karena sehari-hari hanya diberi makan nasi, jambu monyet, air gula, dan susu kental manis oleh pemiliknya. Covita dievakuasi setelah pemilik bersedia menyerahkan satwa yang dilindungi itu kepada petugas.
Covita dipelihara secara illegal oleh seorang warga di Dusun Ensayang, Desa Karang Betong, Kecamatan Nanga Mahab, Kabupaten Sekadau, Kalbar. Dia mendapatkan orang utan ini ketika bekerja di wilayah Babio, Kabupaten Sekadau. Ketika ditemukan, orang utan yang diberi nama Covita ini mengalami cedera pada kaki kanannya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk mencapai Dusun Ampon, tim gabungan harus melakukan perjalanan darat selama 8 jam dari Pusat Penyelamatan Orangutan IAR Indonesia di Desa Sungai Awan dan dilanjutkan dengan perahu motor selama 3 jam.
Dokter hewan IAR Indonesia, drh Adisa, mengatakan Covita diperkirakan berusia 2,5 tahun dari hasil pemeriksaan gigi dan terdapat tonjolan pada tulang paha kanannya. Covita saat ini dibawa ke IAR Indonesia di Desa Sungai Awan, Kabupaten Ketapang yang memiliki fasilitas pusat rehabilitasi satwa, untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut.
"Kemungkinan besar ini adalah bekas cedera yang dialaminya dulu ketika ditemukan. Selain itu, Covita juga menderita penyakit kulit yang membuat sebagian kulitnya mengelupas dan rambutnya rontok di kedua kaki dan punggungnya," kata Adisa, Rabu (2/9/2020).
![]() |
Covita akan menjalani masa karantina selama 8 minggu. Selama masa ini, Covita akan menjalani pemeriksaan secara detail oleh tim medis IAR Indonesia. Pemeriksaan ini dilakukan untuk memastikan Covita tidak membawa penyakit berbahaya yang bisa menular ke orang utan lainnya di pusat rehabilitasi IAR Indonesia.
Ketua Umum YIARI, Tantyo Bangun, mengatakan ini adalah kali kedua IAR Indonesia bersama BKSDA Kalbar menyelamatkan orang utan dari dusun ini setelah pada pertengahan tahun lalu, tim gabungan ini menyelamatkan satu bayi orang utan yang juga menjadi korban pemeliharaan satwa liar dilindungi.
Selain mengancam kelestarian satwa liar, perilaku tidak bertanggung jawab seperti ini berisiko membahayakan manusia dengan penyakit yang mungkin dibawa oleh satwa liar.
"Di masa pandemi seperti sekarang, penyerahan satwa liar yang dilindungi ini dapat mengurangi kemungkinan bahaya penyakit menular. Semoga upaya karantina dan rehabilitasi Covita dapat berjalan dengan baik sehingga dapat dilepasliarkan ke habitat alaminya di hutan rimba Kalimantan," ujarnya.
Menurut Kepala Balai BKSDA Kalimantan Barat, Sadtata Noor Adirahmanta, pemeliharaan ilegal tumbuhan dan satwa liar dapat memberikan dampak buruk bagi kedua belah pihak.
"Dari sisi satwanya dapat menyebabkan perubahan perilaku alami orang utan dan di sisi lain dapat membahayakan keselamatan dan kesehatan manusia di sekitarnya," jelasnya.
"Di samping itu, DNA orang utan yang sangat mirip dengan manusia memungkinkannya menjadi perantara berpindahnya penyakit yang dibawanya kepada manusia. Begitu pula sebaliknya manusia dapat menularkan penyakit yang dibawanya kepada orang utan. Jika proses penularan ini berlangsung cepat maka tidak mustahil terjadi bencana kesehatan secara luas. Oleh karena itu menjaga jarak dengan satwa liar adalah hal yang baik bagi kedua belah pihak," tambahnya lagi.
Perubahan perilaku alami orang utan merupakan kerugian besar bagi satwa orang utan itu sendiri sebab akan sulit bertahan hidup di alam ketika dilepasliarkan. Orang utan tidak mampu mengenali pakan alaminya, tidak mudah beradaptasi dengan lingkungannya, dan sebagainya.
"Kami berterima kasih kepada IAR Indonesia yang berlokasi di Kabupaten Ketapang, sebagai salah satu pusat rehabilitasi orang utan di Kalbar. Semoga Covita dapat 'diliarkan kembali' di sana sampai nanti layak untuk dilepasliarkan ke rumahnya di alam," tutupnya.