Komisi II DPR tengah menggodok revisi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Draf revisi UU Pemilu sudah diserahkan ke Badan Legislasi (Baleg) DPR untuk diharmonisasi.
"Hari ini Komisi II kita serahkan (revisi UU Pemilu) ke Baleg, ya nanti kita tunggu harmonisasi dan sinkronisasi di Baleg. Kita berharap nanti setelah itu dikembalikan ke kita, kemudian nanti kita ajukan ke pimpinan untuk dibahas menjadi undang-undang inisiatif DPR," kata Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tanjung di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (1/9/2020).
Lalu, apa saja poin-poin revisi UU Pemilu? Doli menjelaskan ada sembilan isu utama dalam revisi UU tersebut, yang terdiri atas 5 isu klasik dan 4 isu kontemporer.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kelima isu klasik yang disebut Doli meliputi sistem pemilu (terbuka, tertutup, campuran), ambang batas parlemen atau parliamentary threshold (PT), presidential threshold, sistem konversi penghitungan suara ke kursi, serta district magnitude jumlah besaran kursi per dapil. Namun, Doli mengatakan Komisi II tidak akan fokus membahas isu-isu klasik tersebut.
"Kami sepakat, karena itu kan isu yang klasik yang pasti suka atau tidak suka pasti akan dibahas dan pembahasannya itu kan sampai pada tingkat pimpinan partai sebetulnya. Oleh karena itu, kami fokus pada hal-hal yang baru di Komisi II," ujarnya.
Hal-hal baru yang dimaksud Doli termasuk dalam isu kontemporer di antaranya konsep pemilu nasional dan pemilu daerah, termasuk soal keserentakannya.
"Bicara tentang kan ini dijadikan satu sekarang, rezim pemilunya kan rezim pemilu saja, yang terdiri dari pemilu kepala daerah, pemilu legislatif, dan pemilu presiden. Jadi nanti ada konsep pemilu nasional dan pemilu daerah. Nah, termasuk nanti dibicarakan soal keserentakannya. Itu yang pertama," ujar Doli.
Isu selanjutnya berkaitan dengan pasal-pasal untuk menghilangkan praktik moral hazard pemilu.
"Kedua, kita juga punya keinginan yang kuat agar pemilu ke depan itu pemilu yang betul-betul bersih, jadi harus ada pasal-pasal yang lebih rinci, yang tegas, yang mampu menghilangkan atau meminimalkan terjadinya praktik-praktik moral hazard pemilu, seperti money politics, politik transaksional, dan sebagainya," jelasnya.
Isu ketiga adalah soal digitalisasi pemilu. Komisi II ingin yang tidak rumit dan tidak menyulitkan masyarakat. Doli juga menyinggung soal e-rekap KPU yang menurutnya perlu dikembangkan.
"Nah, biasanya kan yang selalu diidentikkan dengan membuat lebih mudah pemilu ini terkait dengan perkembangan ilmu pengetahuan teknologi, soal iptek. Kemarin KPU sudah mulai simulasi tentang e-rekap. Hal-hal seperti itu sebetulnya harus kita kembangkan ke depan," ujar Doli.
Terakhir, berkaitan dengan penguatan tugas dan fungsi penyelenggara Pemilu. Doli menilai tugas dan fungsi KPU, Bawaslu, dan DKPP selama ini saling tumpang tindih dan sering terjadi konflik.
"Ini ke depan saya kira harus kita pikirkan tugas dan fungsi dari institusi penyelenggara pemilu ini agar lebih tegas. Terutama soal yang menangani pelanggaran-pelanggaran pemilu. Jadi ada semangat kembali di teman-teman Komisi II untuk mendorong lahirnya peradilan khusus pemilu," ungkap Doli.
"Nanti itu yang sekarang kita lagi kaji secara mendalam, apakah nanti diambil semua ke Bawaslu atau ada badan pemilu yang lain, atau posisi Bawaslu kayak gimana, etiknya di mana dimasukkan. Ini sekarang kita lagi exercise terus," tandasnya.
(azr/gbr)