Dua media Hary Tanoesudibjo, RCTI dan iNews TV menggugat UU Penyiaran ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan harapan penyiaran yang menggunakan internet, seperti konten di Youtube, juga tunduk ke UU Penyiaran. Ahli hukum keberatan dengan gugatan tersebut.
"RCTI melihat bahwa akun YouTube warga negara hendak diatur. Betapa repotnya negara membatasi hak warga negaranya untuk menyampaikan sesuatu yang dilindungi UUD 1945," kata ahli hukum tata negara Feri Amsari saat berbincang dengan detikcom, Jumat (28/8/2020).
Feri juga memiliki channel di YouTube dengan nama channel seperti namanya, Feri Amsari. Channel-nya berisi berbagai wawancara seputar hukum yang dikemas dengan ringan dan renyah. Oleh sebab itu, Feri menilai judicial review UU Penyiaran oleh RCTI-iNews TV tidak tepat. Sebab antara konten YouTube dan RCTI memiliki karakter berbeda.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Hal itu yang berbeda dengan perusahaan penyiaran seperti RCTI," ujar Feri.
Sebelumnya, Corporate Legal Director MNC Group Christophorus Taufik, mengatakan uji materi UU Penyiaran dilakukan guna mendorong kesetaraan dan tanggung jawab moral konstitusional. Dia menanggapi anggapan bahwa gugatan itu dapat mengakibatkan masyarakat tidak bisa siaran live lagi di media sosial.
"Itu tidak benar. Permohonan uji materi RCTI dan iNews tersebut justru dilatarbelakangi keinginan untuk melahirkan perlakuan dan perlindungan yang setara antara anak-anak bangsa dengan sahabat-sahabat YouTuber dan selebgram dari berbagai belahan dunia dan mendorong mereka untuk tumbuh, meningkatkan kesejahteraan mereka dan berkembang dalam tataran kekinian," tutur Taufik.
Taufik menyebut RCTI dan iNews sama sekali tidak berniat mematikan kreativitas penggiat media sosial. Gugatan tersebut dimaksudkan agar UU penyiaran bersinergi dengan undang-undang lainnya.
"Kami mendorong agar UU Penyiaran yang sudah jadul itu untuk bersinergi dengan UU yang lain, seperti UU Telekomunikasi yang sudah mengatur soal infrastruktur, UU ITE yang sudah mengatur soal Internet, dan UU Penyiaran sebagai UU yang mengatur konten dan perlindungan kepada insan kreatif bangsa memang tertinggal perkembangannya. Hal ini yang ingin kami dorong," ujar Taufik.
RCTI dan iNews menggugat UU Penyiaran ke MK agar setiap siaran yang menggunakan internet, seperti YouTube hingga Netflix, tunduk pada UU Penyiaran. Mereka khawatir muncul konten yang bertentangan dengan UUD 1945 dan Pancasila di saluran internet.
Hal itu terungkap dalam permohonan judicial review yang dikutip detikcom dari website MK, Kamis (27/8). Permohonan itu ditandatangani oleh Dirut iNews TV David Fernando Audy dan Direktur RCTI Jarod Suwahjo. Mereka mengajukan judicial review Pasal 1 ayat 2 UU Penyiaran yang berbunyi:
Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran.
"Bahwa apabila ketentuan Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran tidak dimaknai mencakup penyiaran menggunakan internet, maka jelas telah membedakan asas, tujuan, fungsi dan arah penyiaran antar-penyelenggara penyiaran. Konsekuensinya bisa saja penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet tidak berasaskan Pancasila, tidak menjunjung tinggi pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945, tidak menjaga dan meningkatkan moralitas dan nilai-nilai agama serta jati diri bangsa," demikian bunyi alasan judicial review RCTI-iNews TV dalam berkas itu.
Sementara itu, Kemenkominfo menyebut adanya kemungkinan menutup fitur siaran di media sosial, seperti Instagram TV, Instagram Live, dan Facebook Live. Hal ini bisa terjadi jika permohonan pengujian UU Penyiaran dikabulkan.
"Perluasan definisi penyiaran akan mengklasifikasikan kegiatan seperti Instagram TV, Instagram Live, Facebook Live, YouTube Live, dan penyaluran konten audio visual lainnya dalam platform media sosial diharuskan menjadi lembaga penyiaran yang wajib berizin," ujar Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika (PPI) Kominfo Ahmad M Ramli.
Dengan demikian, Ramli menyebut adanya kemungkinan menutup siaran pada aplikasi tersebut jika tidak mengajukan izin. Terlebih bila kegiatan dalam media sosial itu dikategorikan sebagai penyiaran, maka perseorangan, badan usaha, ataupun badan hukum dikatakannya akan dipaksa memiliki izin menjadi lembaga penyiaran.
"Artinya, kami harus menutup mereka kalau mereka tidak mengajukan izin," ucapnya.
(asp/elz)