Anggota MPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera mengatakan Pilkada serentak yang akan digelar 9 Desember mendatang merupakan yang paling berisiko karena dilaksanakan di tengah pandemi. Karena itu, menurutnya penyelenggaraan Pilkada serentak harus diperhitungkan secara matang, termasuk penerapan protokol kesehatan secara ketat.
"Karena itu kami harus benar-benar memperhitungkan secara matang agar risiko tinggi penyelenggaraan Pilkada serentak namun bisa menghasilkan pemimpin daerah yang berkualitas yang mampu mengoptimalkan seluruh potensi yang ada melawan COVID-19," kata Mardani dalam keterangannya, Selasa (25/8/2020).
Dalam acara Diskusi Empat Pilar MPR bertema 'Pilkada Serentak: Hidupkan Semangat Kebangsaan di Masa Pandemi' di Media Center MPR/DPR RI, Jakarta itu, ia menuturkan salah satu yang diperhitungkan dalam pelaksanaan Pilkada serentak di masa pandemi COVID-19 adalah pengumpulan massa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami mendorong Peraturan KPU dalam bab pengumpulan massa. Kita minta jaga jarak sekitar 2 meter. Kami juga mendesak KPU atau Bawaslu menghentikan kampanye yang tidak mengikuti protokol COVID-19," katanya.
Menurut Mardani, agar Pilkada serentak menjadi momentum menghidupkan semangat, hal itu merupakan pekerjaan bersama. Ia mengusulkan dalam RDP dengan Kemendagri, agar Pilkada serentak menjadi orkestra yang indah dan ketat.
"Pilkada serentak ini harus menunjukkan energi positif bangsa bahwa di masa pandemi COVID-19 kita bisa menyelenggarakan Pilkada yang berkualitas, tidak menjadi cluster baru COVID-19, dan hasilnya adalah kemenangan besar buat rakyat," paparnya.
Mardani menambahkan ada tiga syarat untuk menjadikan Pilkada serentak sebagai orkestra yang indah dan ketat. Pertama, masyarakat perlu dilibatkan sejak awal dan masyarakat, partai politik dan media harus punya komitmen.
"Seharusnya jangan sampai ada kotak kosong. Sedih sekali kalau Pilkada ada calon tunggal karena ini bencana dan musibah bagi demokrasi," tuturnya.
Kedua, penyelenggara tidak hanya memiliki integritas tetapi juga harus meningkatkan profesionalismenya. KPU dan KPUD, Bawaslu, Bawasda, harus benar-benar menerapkan protokol COVID-19 secara ketat.
"Bahkan kita ingin mengusulkan sanksi ketat bagi pasangan calon yang tidak menerapkan protokol kesehatan COVID-19," katanya.
Ketiga, kedewasaan dari Kemendagri untuk menjadi dirigen dalam orkestra itu, karena Mendagri adalah pembina kepala daerah.
"Siapa pun harus menjadikan Pilkada sebagai orkestra indah yang menunjukkan bangsa Indonesia bisa menyelenggarakan Pilkada tanpa ada cluster baru dan menghasilkan pemimpin yang berkualitas," ucapnya.
Tidak jauh berbeda, anggota MPR Fraksi PKB Yanuar Prihatin mengungkapkan agar Pilkada serentak tidak menjadi cluster baru penyebaran COVID-19 maka ada dua cara. Pertama, level teknis prosedural dan yang kedua level substansi.
"Problem hari ini adalah bagaimana Pilkada memunculkan tokoh pemimpin yang memiliki kapasitas memajukan daerah dalam forum dunia. Karena kepala daerah yang kita miliki saat ini masih berpikir pada tingkat regional atau nasional. Pilkada belum memunculkan pemimpin atau kepala daerah yang memajukan daerahnya ke tingkat dunia," tutur Yanuar.
Sementara itu, Ketua Komite I DPD Fachrul Razi berpendapat penyelenggaraan Pilkada serentak lebih baik ditunda hingga pandemi COVID-19 mereda. Alasannya adalah masih tingginya kasus positif COVID-19 pada daerah-daerah yang akan menyelenggarakan Pilkada serentak.
"Sampai saat ini kita meminta pelaksanaan Pilkada serentak ditunda ke tahun 2021, banyak daerah juga yang belum siap," kata Fachrul Razi.
Senada, pengamat politik Maksimus Lalongkoe juga mengatakan alangkah eloknya bila Pilkada serentak tahun 2020 ditunda. Ini dikarenakan jumlah yang terkena COVID-19 terus bertambah belum lagi dampak COVID-19 terhadap ekonomi masyarakat.
"Banyak masyarakat yang masih mengalami kesulitan hidup. Jangan sampai Pilkada ini justru menyulitkan rakyat di tengah pandemi COVID-19 ini," ujarnya.
(akn/ega)