Jakarta -
Dua sekawan eks komisioner KPU terjerat kasus yang sudah selesai masa sidang. Keduanya beda nasib. Evi Novida Ginting kembali jadi anggota KPU, sementara Wahyu Setiawan masuk bui.
Evi Novida tersandung masalah saat dirinya menjabat sebagai komisioner KPU RI. Evi diputuskan oleh DKPP melanggar etik terkait kasus manipulasi perolehan suara calon legislatif (caleg) Partai Gerindra Daerah Pemilihan (Dapil) Kalimantan Barat 6.
Buntut putusan DKPP itu, keluar Keputusan Presiden (Keppres) terkait tindak lanjut pemecatan Komisioner KPU Evi Novida Ginting Manik. Evi diberhentikan secara tidak terhormat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Singkat cerita, Evi mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Sampai akhirnya dikabulkan.
PTUN Jakarta mengabulkan gugatan Evi Novida yang diberhentikan secara tidak hormat berdasarkan Keppres nomor 34/P tahun 2020. Dengan dikabulkan gugatannya, maka Keppres pemberhentian tersebut menjadi batal.
"Mengadili dalam pokok perkara, mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya," bunyi putusan yang disampaikan di aplikasi e-court yang ditunjukkan oleh pengacara Evi, Heru Widodo pada Kamis (23/7/2020).
Dari putusan PTUN itu, pemerintah tidak melakukan banding dan mencabut Keppres tersebut. Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun mencabut Keppres pemberhentian Evi Novida Ginting sebagai Komisioner KPU.
KPU menindaklanjuti pencabutan Keppres itu dengan menggelar rapat pleno. Mulai kemarin, Evi kembali bertugas sebagai komisioner KPU.
"Keppres 83 di situ menyebutkan: yang pertama, mencabut Keputusan Presiden 34/P tahun 2020 tentang pemberhentian dengan tidak hormat anggota komisioner KPU masa jabatan 2017-2022," kata Ketua KPU, Arief Budiman. Senin (24/8/2020).
Evi pun langsung hadir dalam rapat konsultasi KPU bersama Komisi II DPR RI kemarin. Evi nampak mengenakan batik warna merah kombinasi putih dan mengenakan masker.
Evi Novida duduk di barisan ketiga kursi tamu Komisi II DPR. Dia terlihat serius mengikuti rapat terkait PKPU Pilkada 2020 sambil melihat dokumen yang telah disiapkan.
"Dan pada hari ini Bu Evi aktif kembali sebagai anggota KPU RI, nah karena beliau pembagian tugas menangani devisi teknis maka kami meminta ia hadir pada rapat ini dan beliau sudah ada di tengah-tengah kita ini Komisi II," ujar Arief.
Di rapat itu, Evi Novida mengaku agak kikuk. Namun demikian, Evi Novida berharap dapat menyukseskan Pilkada 2020 bersama komisioner KPU lainnya.
"Alhamdulillah saya hari ini mulai aktif bertugas kembali di KPU, untuk melengkapi temen-temen jadi 7 orang anggota KPU RI lagi, dan mudah-mudahan dengan kekuatan yang sudah penuh kami bisa mensukseskan Pilkada 2020," ujarnya.
Nasib baik Evi tak diikuti oleh perjalanan kasus rekannya Wahyu Setiawan. Wahyu divonis 6 tahun penjara.
Wahyu diputus hakim bersalah menerima suap di pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR RI Fraksi PDIP periode 2019-2024. Selain vonis 6 tahun bui, Wahyu juga didenda Rp 150 juta subsider 4 bulan kurungan.
"Menjatuhkan pidana penjara terdakwa Wahyu Setiawan 6 tahun penjara dan pidana denda Rp 150 juta, dengan ketentuan apabila tidak membayar maka diganti dengan kurungan penjara selama 4 bulan," kata hakim ketua saat membacakan surat putusan di PN Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Senin (24/8/2020).
Majelis hakim mengatakan Wahyu terbukti menerima uang suap terkait PAW anggota DPR RI F-PDIP senilai SGD 57.350 atau setara Rp 600 juta. Uang itu diterima Wahyu Setiawan untuk melancarkan agar caleg Harun Masiku bisa melenggang di Senayan.
Selain itu, Wahyu terbukti menerima suap sebesar Rp 500 juta dari Gubernur Papua Barat Dominggus Mandacan terkait proses seleksi KPUD Papua Barat. Uang itu diserahkan oleh Sekretaris KPU Provinsi Papua Barat, Rosa M Thamrin Payapo.
Maka jika ditotal, suap dan gratifikasi yang diterima Wahyu Setiawan mencapai Rp 1,1 miliar, yang berasal dari suap PAW Rp 600 juta dan gratifikasi Rp 500 juta.
Meski ada vonis 6 tahun, majelis hakim tidak mencabut hak politik Wahyu. Apa alasan hakim tidak mencabut hak politik Wahyu? Hakim mengatakan Wahyu dijatuhi pidana yang bersifat pembinaan.
"Majelis hakim tidak sependapat dengan jaksa penuntut umum dengan pencabutan hak politik terdakwa," kata hakim ketua Susanti Arsi Wibawani.
Selain itu, majelis hakim menolak justice collaborator (JC) yang diajukan Wahyu Setiawan. Wahyu mengajukan diri sebagai saksi pelaku yang bekerja sama atau justice collaborator (JC) dalam pusaran kasus suap terkait pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR Fraksi PDIP.
Wahyu ingin membongkar keterlibatan pihak-pihak mana saja yang ada dalam kasus PAW ini.
"Menimbang permohonan justice collaborator majelis hakim berpendapat sama dengan jaksa penuntut umum tidak dapat menetapkan terdakwa sebagai justice collaborator karena yang dimaksud tidak memenuhi peraturan," ujar Susanti.
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini