Kasus Gilang hingga Turah, Saat Korban Pelecehan Seks Bersuara Lewat Medsos

Kasus Gilang hingga Turah, Saat Korban Pelecehan Seks Bersuara Lewat Medsos

Rakhmad Hidayatulloh Permana - detikNews
Sabtu, 08 Agu 2020 08:13 WIB
Gilang bungkus dan Youtuber Turah Parthayana (Repro detikcom)
Gilang 'bungkus' dan Youtuber Turah Parthayana (Repro detikcom)
Jakarta -

Dalam dua minggu terakhir ini jagat media sosial diramaikan pengungkapan kasus-kasus pelecehan seksual. Para korban kini mulai berani mengungkap pengalaman buruknya agar pelaku mendapat sanksi. Apakah fenomena ini ada kaitannya dengan gerakan #MeToo dunia?

#MeToo mulanya merupakan gerakan yang dipicu dari kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh produser kenamaan Hollywood, Harvey Weinstein yang terungkap pada tahun 2018. Meskipun begitu, gerakan ini pertama kali diperkenalkan oleh aktivis sosial, Tarana Burke, pada 2006.

Gerakan ini mengangkat banyak tuduhan pelecehan seksual terhadap pria-pria berkuasa yang ternama. Gerakan ini juga mendorong munculnya pembicaraan soal gender dan perilaku seksual di semua lapisan masyarakat.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sekilas, gerakan #MeToo mirip dengan apa yang terjadi dua minggu belakangan ini. Dimulai dari kasus Gilang 'fetish kain jarik', dosen 'swinger' Bambang Arianto, hingga yang terbaru kasus mahasiswa Indonesia di Rusia yang juga YouTuber, Turah Parthayana. Semua kasus-kasus ini terungkap lewat pengakuan korban di media sosial dan viral.

Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, menjelaskan alasan pengungkapan kasus pelecehan seksual lewat medsos menjadi tren. Hal ini, menurutnya, salah satunya disebabkan oleh terhambatnya akses keadilan bagi korban.

ADVERTISEMENT

"Pertama, karena akses keadilan korban terhambat atau tidak dipenuhi melalui sistem hukum yang ada. Kedua, adanya kesadaran dan kebebasan berpendapat dan berekspresi. Ketiga, melalui medsos, terbuka akses keadilan dan pemulihan untuk korban, khususnya dukungan publik," kata Siti saat dihubungi detikcom, Jumat (7/8/2020).

Kendati demikian, dia mengingatkan agar pengungkapan kasus pelecehan seksual juga harus dilakukan dengan hati-hati. "Namun speak out juga harus berhati-hati karena bagaimanapun ada UU ITE atau KUHP yang bisa digunakan oleh pelaku," ujarnya.

"Kita harus empati dan mendukung korban untuk mendapatkan keadilan dan pemulihan. Sarankan korban untuk mencari lembaga pendamping untuk penguatan dan pemulihan psikologis dan bantuan hukumnya, untuk mencegah "kriminalisasi"," sambungnya.

Lebih lanjut, Siti mengamini bahwa gerakan #MeToo yang bergema di dunia juga mempengaruhi Indonesia. Gerakan sejenis itu membuat korban pelecehan berani berbicara tentang ketidakadilan yang dialaminya.

"Gerakan #MeToo ikut mempengaruhi juga di Indonesia. Gerakan #MeToo juga diinspirasi oleh gerakan 'I believe Anita Hill' pada tahun 1991 yaitu pengungkapan pelecehan seksual oleh calon Hakim MA Amerika Serikat terhadap asistennya," ucapnya.

Selain itu, menurutnya, pengaruh ini tidak bisa dilepaskan dari kemajuan teknologi informasi. "Pengaruh ini juga tidak dapat dilepaskan dari akses teknologi dan informasi yang semakin terbuka, di mana ruang maya menjadi ruang juang untuk menghentikan kekerasan terhadap perempuan," tegasnya.

Data kasus kekerasan seksual (Dok. Komnas Perempuan)Data kasus kekerasan seksual (Dok. Komnas Perempuan)

Tonton juga 'YouTuber Turah Parthayana Jawab Tudingan Lakukan Pelecehan Seksual':

[Gambas:Video 20detik]

Untuk diketahui, menurut laporan Lembar Fakta Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2020, ada 2.091 aduan kasus kekerasan seksual di ranah komunitas. Bentuknya tindakan kekerasan seksual itu pun bermacam-macam, dari pelecehan seksual, cyber crime, hingga pemerkosaan.

Gerakan Lawan Pelecehan Seksual: Hollaback! Jakarta hingga Puanisme Bogor

Maraknya kasus pelecehan seksual ini juga melahirkan komunitas-komunitas yang berusaha melindungi korban. Beberapa di antara komunitas itu adalah Hollback Jakarta dan Puanisme Bogor.

Hollaback Jakarta merupakan bagian dari gerakan global yang berpusat di New York sejak 2004. Di Jakarta, gerakan Hollaback baru diinisiasi pada 2016 oleh Anindya Restuviani bersama seorang temannya dari Amerika Serikat. Gerakan ini berupaya untuk memberikan ruang aman bagi korban pelecehan seksual.

Melihat tren pengungkapan kasus pelecehan seksual lewat medsos, Anindya Restuviani mengatakan ini merupakan cerminan dari lemahnya sistem yang berpihak pada korban.

"Naiknya kasus-kasus kekerasan seksual (yang diungkap) di media sosial sebetulnya bisa menjadi refleksi kurangnya sistem yang berpihak terhadap korban kekerasan seksual. Sistem yg dimaksud tidak hanya dalam ranah hukum saja tapi juga dalam ranah institusi dan komunitas," tutur Vivi kepada detikcom.

"Biasanya para korban yang memutuskan untuk mencari bantuan melalui media sosial sudah tidak tahu lagi harus mencari bantuan ke mana," lanjutnya.

Selain itu, dia mengatakan bahwa tren pengungkapan kasus pelecehan seksual via medsos ini merupakan dampak gerakan #MeToo.

"Gerakan #MeToo ini gerakan global dan dengan adanya sosial media jelas ini teramplifikasi juga di Indonesia. Salah satu tujuan dari gerakan #MeToo sendiri adalah untuk memberdayakan para korban untuk bisa mengambil alih ruang diskusi di mana biasanya kekerasan dinormalisasikan," ujarnya.

Akibat maraknya kasus pelecehan seksual dan terbatasnya akses korban, Vivi menyebut untuk itulah Hollaback! Jakarta ada.

"Hollaback! Jakarta bergerak untuk memberikan ruang aman bagi korban kekerasan seksual untuk dapat menceritakan kekerasan yang mereka alami. Kita menjamin ruang aman tanpa penghakiman bagi korban. Selain itu kami juga mengajak masyarakat untuk berperan serta dalam menghentikan kekerasan dengan metode intervensi saksi," jelasnya.

Hal yang sama dilakukan oleh April dan tiga kawan wanitanya lewat komunitas Puanisme Bogor. Mereka adalah para penyintas pelecehan seksual yang marah terhadap sistem yang tidak berpihak pada korban.

April senang ketika tahu kini pengungkapan kasus pelecehan seksual di medsos menjadi tren. Menurutnya, itu membuat masyarakat tak lagi menganggap masalah ini sepele.

"Dengan banyaknya para korban yang mulai berbicara di media sosial, ini merupakan salah satu cara untuk menuju perubahan yang lebih baik. Akhirnya mereka akan mendorong masyarakat agar menganggap masalah pelecehan seksual tidak sepele," kata April.

Menurut April, tren ini juga menjadi pertanda bahwa gerakan #MeToo juga sudah berhembus di Indonesia. Namun, dia tak ambil pusing dengan pemakaian tagar #MeToo.

"Meskipun tidak menggunakan #MeToo, saya pun tidak memakai tagar itu, tapi perjuangan gerakan itu sudah mulai muncul di Indonesia. Karena menurut saya, yang paling penting bukan tagarnya, tapi gerakannya," tegasnya.

Sama seperti Hollaback! Jakarta, Puanisme Bogor punya misi yang sama soal melindungi korban. "Puanisme Bogor supaya menjadi ruang aman bagi korban pelecehan seksual, yang tidak tahu harus mengadu kemana. Kami juga memberikan layanan advokasi yang kemudian nantinya kami teruskan ke lembaga-lembaga terkait. Misalnya, kami rujuk ke LBH APIK," tutur April.

Halaman 2 dari 2
(rdp/imk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads