Jakarta -
Program Organisasi Penggerak yang dicanangkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim berakhir menjadi polemik. Kisruh program tersebut pun menimbulkan kegaduhan.
Dikutip dari situs Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Kemendikbud, Program Organisasi Penggerak (POP) adalah bagian dari kebijakan Merdeka Belajar episode keempat pada 10 Maret 2020.
Menurut Peraturan Sekjen Kemendikbud Nomor 4 Tahun 2020, Program Organisasi Penggerak adalah program peningkatan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan dengan melibatkan ormas sebagai mitra yang berdampak pada peningkatan hasil belajar peserta didik. Program Organisasi Penggerak (POP) Kemendikbud itu, seperti dijelaskan pihak Komisi X DPR RI, ternyata memakan biaya APBN senilai Rp 595 miliar. Belakangan, program penggerak ini menimbulkan polemik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejumlah organisasi masyarakat, yakni Muhammadiyah, PBNU, dan PGRI, pun akhirnya mundur dari program tersebut. Pihak Muhammadiyah menyampaikan penyebabnya terkait kriteria pemilihan yang tidak membedakan antara lembaga CSR dan ormas.
"Setelah kami mengikuti proses seleksi dalam Program Organisasi Penggerak Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Kemendikbud RI dan mempertimbangkan beberapa hal, maka dengan ini kami menyatakan mundur dari keikutsertaan program tersebut, dengan pertimbangan," ucap Ketua Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah PP Muhammadiyah Kasiyarno dalam keterangannya, Selasa (22/7/2020).
"Muhammadiyah memiliki 30 ribu satuan pendidikan yang tersebar di seluruh Indonesia. Persyarikatan Muhammadiyah sudah banyak membantu pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan sejak sebelum Indonesia merdeka, sehingga tidak sepatutnya diperbandingkan dengan organisasi masyarakat yang sebagian besar baru muncul beberapa tahun terakhir dan terpilih dalam Program Organisasi Penggerak Kemendikbud RI sesuai surat Dirjen GTK tanggal 17 Juli Tahun 2020 Nomer 2314/B.B2/GT/2020," ucapnya.
Muhammadiyah menilai ada masalah penilaian lembaga-lembaga yang lolos dalam evaluasi proposal. Salah satunya menyamakan organisasi kemasyarakatan dengan CSR.
"Kriteria pemilihan organisasi masyarakat yang ditetapkan lolos evaluasi proposal sangat tidak jelas, karena tidak membedakan antara lembaga CSR yang sepatutnya membantu dana pendidikan dengan organisasi masyarakat yang berhak mendapatkan bantuan dari pemerintah," ujar Kasiyarno.
Belakangan, Lembaga Pendidikan (LP) Ma'arif PBNU juga menyatakan diri keluar dari Program Organisasi Penggerak Kementerian Pendidikan (Kemendikbud). LP Ma'arif PBNU menilai hasil seleksi calon organisasi penggerak tidak mencerminkan konsep dan kriteria organisasi penggerak yang jelas.
"Sehubungan dengan ditetapkannya beberapa calon organisasi penggerak yang lolos evaluasi proposal POP dan terpilih dalam Program Organisasi Penggerak sebagaimana yang termuat dalam surat Dirjen GTK Kemendikbud RI tanggal 17 Juli tahun 2020 Nomor 2314/B.B2/GT/2020, dengan ini kami sampaikan bahwa LP Ma'arif NU PBNU mundur dari program tersebut," kata Ketua LP Ma'arif PBNU Arifin Junaidi dalam keterangannya, Rabu (22/7/2020).
Arifin mengatakan selama ini LP Ma'arif NU PBNU telah memberikan sumbangsih pemikiran dan terlibat langsung dalam peningkatan mutu pendidikan di Indonesia, walaupun LP Ma'arif NU PBNU tidak tergabung dalam organisasi penggerak yang dicanangkan oleh Kemendikbud RI.
"Karenanya, LP Ma'arif NU PBNU meminta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI meninjau kembali keputusan tersebut agar ke depannya tidak terjadi masalah yang tidak diinginkan," katanya.
Yang terbaru, Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) juga memutuskan tidak bergabung dengan Program Organisasi Penggerak (POP) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud). PB PGRI menganggap kriteria pemilihan program tersebut masih tidak jelas.
"Dalam perjalanan waktu, dengan mempertimbangkan beberapa hal, menyerap aspirasi dari anggota dan pengurus dari daerah, Pengurus Besar PGRI melalui rapat koordinasi bersama pengurus PGRI provinsi seluruh Indonesia, perangkat kelengkapan organisasi, Badan Penyelenggara Pendidikan dan Satuan Pendidikan PGRI yang dilaksanakan pada hari Kamis tanggal 23 Juli 2019 memutuskan untuk tidak bergabung dalam Program Organisasi Penggerak Kemendikbud," kata Ketua Umum Pengurus Besar PGRI Unifah Rosyidi dalam keterangannya pada Jumat (24/7/2020).
Sementara itu, terkait kemunduran organisasi kemasyarakatan ini, kritik pun muncul dari berbagai pihak, salah satunya Komisi X DPR RI. Pihak Komisi X menilai ada ketidakberesan pada proses rekrutmen Program Organisasi Penggerak Kemendikbud.
"Kami mendesak Kemendikbud membuka kriteria-kriteria yang mendasari lolosnya entitas pendidikan sehingga bisa masuk POP. Dengan demikian, publik akan tahu alasan kenapa satu entitas pendidikan lolos dan entitas lain tidak," ujar Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda kepada wartawan, Rabu (21/7/2020).
"Pengunduran diri NU dan Muhammadiyah dari program ini menunjukkan ada ketidakberesan dalam proses rekrutmen POP," sambungnya.
Setelah diusut, ternyata permasalahan ditengarai adanya pihak lembaga seperti Sampoerna dan Tanoto Foundation yang masuk ke dalam daftar Program Organisasi Penggerak. Menurut Syaiful Huda, Program Organisasi Penggerak Kemendikbud saat ini seperti kehilangan semangat pengawalnya. Dia menyayangkan lembaga yang seharusnya menyalurkan CSR malah mendapat dana pemerintah.
"Jadi politik etiknya nggak dapat, karena itu kita rencana untuk mengklarifikasi, menyampaikan, minta penjelasan dari Mas Nadiem. Mungkin langkah awal kita tanya Mas Nadiem. Ketika ini belum clear, baru kemudian kita ada opsi untuk memanggil juga Sampoerna dan Tanoto Foundation," sebut Syaiful Huda.
Sejumlah partai pun bahkan sampai menyarankan Kemendikbud mengevaluasi program tersebut hingga meminta Mendikbud Nadiem untuk dicopot. PAN menjadi salah satu partai yang menyuarakan agar Nadiem Makarim dicopot oleh Presiden Joko Widodo.
"Wajar saja jika kemudian Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah dan LP Ma'arif PBNU mengundurkan diri dari kepesertaan POP. Ini adalah bentuk protes dari kedua organisasi besar dan tertua di Indonesia tersebut. Nadiem tidak peka. Tidak memahami sejarah pergerakan ormas di Indonesia secara utuh," kata Plh Ketua Fraksi PAN DPR RI Saleh Partaonan Daulay dalam keterangannya, Jumat (24/7/2020).
"Berkenaan dengan itu, Presiden diminta untuk segera memanggil dan meminta penjelasan Nadiem Makarim. Bahkan Presiden dituntut mempergunakan hak prerogatifnya untuk mengganti Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan," tegasnya.
Meski demikian, pihak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sempat memberi penjelasan proses seleksi Organisasi Penggerak yang dikritik Muhammadiyah. Kemendikbud menilai proses seleksi Organisasi Penggerak berjalan transparan dan akuntabel.
"Proses dari awal itu kan proses yang sangat terbuka, transparan, dan akuntabel. Dan mulai dari awal semuanya berdasarkan kriteria dan peraturan-peraturan yang sudah ada," ujar Direktur Jenderal (Dirjen) Guru dan Tenaga Kependidikan Iwan Syahril ketika dihubungi detikcom, Rabu (22/7/2020).
Syahril menegaskan pihaknya sudah menggunakan metode double blind review. Artinya, evaluator akan memeriksa kelengkapan dan substansi proposal secara independen. Sehingga, sebut dia, evaluator tidak memandang apakah perusahaan atau yayasan yang mengajukan proposal merupakan kategori perusahaan besar atau kecil.
"Jadi sebetulnya keterbukaan dalam segi peraturan itu bukan dan bisa siapa saja, baik organisasi kecil maupun organisasi yang besar. Ada juga organisasi yang kecil yang mungkin lolos, ada juga yang besar dan tidak lolos. Semuanya akan digunakan metode blind review tadi. Jadi evaluator nggak tahu ini siapa," papar Syahril.
Hingga kini Mendikbud Nadiem Makarim pun belum memberi keterangan terkait kisruh Program Organisasi Penggerak ini.
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini