Mahkamah Konstitusi (MK) tidak menerima permohonan judicial review yang dilayangkan Kivlan Zen. Mantan Pangkostrad itu meminta Pasal Penyelundupan Senjata Api di UU Darurat dihapus.
"Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima," demikian bunyi putusan MK yang dikutip detikcom, Kamis (23/7/2020).
Putusan itu diketok pada Rabu (26/7) oleh Anwar Usman, Aswanto, Arief Hidayat, Suhartoyo, Enny Nurbaningsih, Saldi Isra, Manahan MP Sitompul, Wahiduddin Adams, dan Daniel Yusmic P Foekh. MK menyatakan persidangan pemeriksaan pendahuluan pada 13 Mei 2020 telah memberikan nasihat kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonannya. Namun permohonan Kivlan Zen tetap sebagaimana diuraikan di atas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dengan demikian, Mahkamah tidak dapat memahami alasan permohonan Pemohon jika dikaitkan dengan petitum permohonan yang meminta agar pasal yang diuji konstitusionalitasnya bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Oleh karena ketidakjelasan dimaksud, Mahkamah juga menjadi sulit menentukan apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum atau tidak untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo. Andaipun jika Pemohon memiliki kedudukan hukum, quod non, permohonan Pemohon adalah kabur," ujar MK dengan suara bulat.
Dalam permohonannya, Kivlan meminta pasal 1 ayat 1 tentang penyelundupan senjata api di UU Darurat dihapus. Pasal yang dimaksud berbunyi:
Barang siapa, yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi atau sesuatu bahan peledak, dihukum dengan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara setinggi-tingginya dua puluh tahun.
Menurut Kivlan, tidak ada ukuran terhadap seseorang sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Ayat 1 itu. Selain itu, seharusnya norma yang dimaksud harus diatur dalam norma/UU tersendiri.
"Norma itu tidak mencerminkan negara hukum karena frasa yang rumit dan multitafsir," ujar Kivlan dalam berkas permohonannya.
(asp/dhn)