Vonis 5 bulan penjara yang dijatuhi majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Parepare, Sulawesi Selatan (Sulsel), kepada dua pelaku pencabulan berinisial G (15) dan S (16) berbuntut panjang. Buntutnya, menjurus ke para jaksa Kejaksaan Negeri (Kejari) Parepare.
Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulsel diketahui telah membentuk tim untuk menginspeksi para jaksa Kejari Parepare. Tim besutan Kejati Sulsel pun telah memeriksa pejabat struktural Kejari Parepare.
"Kejati dalam hal ini memeriksa pejabat struktural dan melakukan check and recheck. Tujuannya untuk mengetahui secara pasti, apakah benar terjadi penyimpangan atau pelanggaran dalam menangani perkara. Kita terima dengan baik, apakah hasilnya ada temuan pelanggaran," kata Kepala Kejari Parepare, Amir Syarifuddin, Rabu (22/7/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penanganan kasus pencabulan yang dilakukan G dan S terhadap gadis berinisial R (14) itu memang mendapat sorotan publik. Menurut Amir, sorotan publik itu yang menjadi salah satu pertimbangan Kejati Sulsel dalam membentuk tim.
"Jadi, ketika ada kabar dari bawah, salah dalam proses penanganan perkara tersebut, maka, Kejati dalam hal ini, membentuk tim pengawasan," ucap Amir.
Amir pun mengaku tak kenal lelah memperingatkan jajarannya agar profesional dalam menjalankan tugas. Bukan hanya jaksa yang diperingatkan, Amir mengaku juga menyampaikan peringatan serupa kepada para staf.
"Setiap saat saya sampaikan, harus hati-hati dalam menangani suatu perkara. Jaksa maupun staf, dalam melaksanakan tugas fungsional, harus sesuai dengan aturan yang berlaku," tutur Amir.
Kejati Sulsel menyebut penyelidikan atas penanganan kasus pencabulan G dan S belum tuntas. Wakil Kepala Kejati Sulsel Risal Nurul Fitri mengungkapkan bahwa hingga kini masih melakukan pemeriksaan.
"Belum selesai, masih proses pemeriksaan. Semoga tidak terlalu lama, ya, karena hasilnya kita teruskan ke Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan (Jamwas) sebagai pejabat pemutus," ungkap Risal saat dimintai konfirmasi terpisah.
Sejumlah fakta muncul dalam penanganan kasus pencabulan yang dilakukan G dan S terhadap R, yang dinilai janggal oleh publik. Mulai dari surat kesepakatan damai, hingga sikap jaksa yang hanya menuntut 7 bulan penjara kepada G dan S.
Dimulai dari kesepakatan damai. Dalam proses persidangan muncul surat kesepakatan damai antara pihak korban dan pihak pelaku, serta keterangan M (40) mendapat uang kompensasi dari orang tua pelaku. M, yang merupakan orang tua korban, mengakui menandatangani surat kesepakatan damai, tapi membantah menerima uang kompensasi.
M menganggap salah satu suratnya direkayasa. Surat perdamaian yang menurut M direkayasa kini berada di tangan Kejari Parepare.
"Saya akhirnya bersedia tanda tangan karena tidak tega, selain karena makin tidak nyaman sering didatangi orang tua pelaku. Surat perdamaian, saya tanda tangani di kantor polisi, saya memang pernah ditawari sejumlah uang, tapi saya tolak," ungkap M di rumahnya, Selasa (23/6).
Kemudian keputusan jaksa yang hanya menuntut 7 bulan penjara. Jaksa memang sudah memberikan penjelasan terkait besaran tuntutan tersebut.
"Pasal 79 ayat 3 UU SPPA (Sistem Peradilan Pidana Anak) 11/12 (Nomor 11 Tahun 2012), pidana penjara minimum khusus tidak berlaku bagi anak dan pidana penjara merupakan upaya terakhir untuk pelaku anak. Mengingat pelaku masih berstatus pelajar dan akan melanjutkan pendidikannya, bukan jadi di Pasal 81 itu ancaman minimal itu 5 tahun," papar jaksa Kejari Parepare, Syahrul saat dihubungi terpisah beberapa waktu lalu.
"Makanya, orang biasa marah kalau ada anak-anak yang perbuatannya seperti dewasa, tapi hukumannya rendah, ya, karena itu ada UU yang melindunginya. Tentunya ini juga pertimbangan dari pembimbing kemasyarakatan," imbuhnya.