Selain itu menurutnya pemeriksaan saksi dan terdakwa juga mengalami keterbatasan saat melakukan persidangan secara online. Tak hanya itu, alat bukti yang diperlihatkan secara teleconference tidak dapat diperlihatkan dengan baik kepada terdakwa yang berada di rutan.
"Keterbatasan dalam memastikan saksi dan terdakwa dalam tekanan hal ini terkait posisi terdakwa, seperti saksi kita alami pada saat pemeriksaan, ya mereka ini pemahaman dalam teleconference kami lihat tidak bebas, kadang terputus (koneksi) mengakibatkan kurang konsentrasi menjadi buyar," ungkapnya.
Oleh karenanya, Juniver menyarankan agar adanya payung hukum persidangan online yang mengakomodir semua kepentingan penegak hukum dalam revisi KUHAP. Selain itu, Peradi juga berharap agar Peraturan Mahkamah Agung yang disiapkan terkait persidangan online di masa pandemi COVID-19 nantinya tidak bertentangan dengan prinsip aturan di KUHAP.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dari apa yang kami alami di persidangan, kami merekomendasikan pertama diperlukan payung hukum persidangan online perkara pidana yang berdasarkan pada hukum acara pidana dengan mengakomodasi kepentingan para pihak baik itu kepentingan hakim, penuntut umum, penasihat hukum, terdakwa, saksi saksi dan asas asas hukum acara pidana," ujarnya.
Sementara itu dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Febby MN, menilai persidangan online memiliki keuntungan dengan memanfaatkan teknologi, yaitu efisiensi waktu, mempercepat proses administrasi. Selain itu menurutnya praktik persidangan online ini bisa mengurangi peran perantara.
"Mengurangi peran perantara, dalam hal ini mengurangi perbuatan korupsi di pengadilan, khususnya administratif koruptif. Ini banyak tahulah, apalagi advokat tahu banget bagaimana itu terjadi," ujarn Febby dalam kesempatan yang sama.
(yld/aud)