Wakil Presiden Ma'ruf Amin mengatakan masjid menjadi tempat strategis untuk membangun cara berpikir umat. Menurut Ma'ruf, ada tiga cara berpikir yang harus diterapkan untuk membangun peradaban Islam.
"Masjid juga strategis untuk membangun cara berpikir yang lebih kompatibel dengan pembangunan peradaban Islam. Menurut saya, membangun sebuah peradaban bersumber dari cara berpikir masyarakatnya," kata Ma'ruf dalam webinar 'Membangun Peradaban Islam Berbasis Masjid' yang diselenggarakan oleh Badan Pengelola Masjid Istiqlal, Rabu (8/7/2020).
"Oleh karena itu, jika ingin membangun peradaban Islam, langkah utama yang perlu dilakukan adalah mengkonstruksi ulang cara berpikir umat Islam sesuai dengan yang diajarkan Rasulullah SAW, yakni cara berpikir wasaty, cara berpikir yang moderat, dinamis, tetap dalam koridor manhaj dan tidak ekstrem," ujar Ma'ruf.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ma'ruf mengatakan cara berpikir wasaty itu adalah cara berpikir yang sesuai dengan ajaran Islam. Bukan ajaran yang melenceng dari agama, baik paham kanan maupun kiri.
"Jalan yang melenceng ke kanan merupakan kinayah dari cara berpikir berlebihan dalam beragama. Ciri-ciri cara berpikir ifrathi ialah semangat keagamaan yang berlebihan tanpa dibarengi dengan ilmu, terutama ilmu tentang metode pemahaman nash sebagaimana diajarkan Rasulullah SAW, sehingga terkungkung dengan pemahaman literer atau tekstual, terutama dalam memahami nash," katanya.
Ma'ruf mengatakan pemahaman yang tekstual ini hanya terpaku terhadap teks, sehingga tidak menerima penafsiran yang menyesuaikan dengan perkembangan zaman.
"Secara apriori cara berpikir tekstual ini menolak penafsiran dan pentakwilan nash yang berbeda dari pengertian zahirnya. Penafsiran dan pentakwilan nash yang tidak didukung secara jelas oleh nash lain dianggap sebagai mengada-ada. Padahal tidak semua nash dapat dipahami dengan cara berpikir seperti itu. Oleh karenanya, cara berpikir tekstualis sangat jauh dari ruh keagamaan sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah SAW," ungkapnya.
"Senantiasa terpaku pada teks pendapat ulama terdahulu adalah suatu kesesatan dalam agama dan (juga) suatu ketidakmengertian terhadap apa yang diinginkan oleh para ulama terdahulu," imbuhnya.