Fraksi PPP menyetujui pembahasan lebih lanjut RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang merupakan RUU usulan DPR. PPP memberi catatan agar TAP MPRS XXV/1996 masuk dalam konsideran 'mengingat' di draf RUU tersebut.
"Fraksi PPP meminta agar memasukkan pada Konsideran Mengingat draf RUU ini yakni TAP MPRS RI NOMOR XXV/MPRS/1966 Tahun 1966 Tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang diseluruh Wilayah Negara Republik Indonesia Bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme dan Lenimisme," kata Sekretaris F-PPP DPR Achmad Baidowi (Awiek) dalam keterangannya, Senin (15/6/2020).
PPP juga memberikan sejumlah catatan terkait redaksi atau kalimat dalam beberapa pasal di RUU HIP. Selain itu, PPP ingin agar kedudukan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) sejajar dengan lembaga negara lainnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sebaiknya BPIP ini kedudukannya harus diperjelas sebagai Lembaga Negara di bawah Presiden sesuai dengan Pasal 43 Ayat (3) RUU ini, yang artinya disetarakan dengan Kementerian Negara, namun kewenangannya terbatas melainkan hanya mengenai penanaman dan pembinaan ideologi Pancasila. Sebab seluruh WNI harus tunduk pada Pancasila termasuk pejabat negara, tidak terkecuali Presiden, dan protokolernya harus mengikuti ketentuan lembaga negara," ujar Awiek.
Dari sejumlah catatan tersebut, Awiek mengatakan PPP menyetujui agar RUU HIP dibahas lebih lanjut. Namun, dalam pembahasannya, Awiek meminta agar catatan terkait RUU itu diperhatikan.
"Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP) DPR RI menyetujui Rancangan Undang-undang tentang Haluan Ideologi Pancasila ini untuk dibahas pada tahap selanjutnya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan memerhatikan seluruh catatan yang berkembang dalam diskusi selama pembahasan draf RUU ini," ungkapnya.
Sebelumnya, RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang merupakan RUU usulan DPR menuai polemik. PP Muhammadiyah bahkan meminta DPR RI menghentikan pembahasan RUU HIP.
PDIP sebagai fraksi pengusul pun angkat bicara soal RUU HIP yang kini ramai dibahas. PDIP menyatakan setuju ekasila dihapus dan paham komunisme dilarang di RUU HIP.
"Dengan demikian terhadap materi muatan yang terdapat di dalam Pasal 7 RUU HIP terkait ciri pokok Pancasila sebagai trisila yang kristalisasinya dalam ekasila, PDI Perjuangan setuju untuk dihapus. Demikian halnya penambahan ketentuan menimbang guna menegaskan larangan terhadap ideologi yang bertentangan dengan Pancasila seperti marxisme-komunisme, kapitalisme-liberalisme, radikalisme serta bentuk khilafahisme, juga setuju untuk ditambahkan," kata Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dalam keterangan tertulis, Senin (15/6).
Muatan mengenai trisila dan ekasila dalam RUU HIP ada di Pasal 7 dalam draf RUU tersebut. Pasal 7 menjelaskan mengenai ciri pokok Pancasila. Berikut bunyinya:
Pasal 7
(1) Ciri pokok Pancasila adalah keadilan dan kesejahteraan sosial dengan semangat kekeluargaan yang merupakan perpaduan prinsip ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan/demokrasi politik dan ekonomi dalam satu kesatuan.
(2) Ciri Pokok Pancasila berupa trisila, yaitu: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan.
(3) Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong-royong.
Sikap Pemerintah: Larangan Komunisme Sudah Final
Menko Polhukam Mahfud Md menegaskan RUU HIP yang dinilai berpeluang membangkitkan Partai Komunis Indonesia (PKI) tidak akan terjadi. Mahfud menyebut pelarangan komunisme di Indonesia sudah bersifat final.
Pernyataan tersebut disampaikan Mahfud Md dalam webinar bersama tokoh Madura lintas provinsi dan lintas negara yang digelar Sabtu (13/6/2020). Dalam acara tersebut, Mahfud menjelaskan RUU HIP disusun oleh DPR dan masuk dalam Prolegnas 2020. Tahapan sampai saat ini pemerintah belum terlibat pembicaraan dan baru menerima RUU tersebut.
"Presiden belum mengirim supres (surat presiden) untuk membahasnya dalam proses legislasi. Pemerintah sudah mulai mempelajarinya secara saksama dan sudah menyiapkan beberapa pandangan," kata Mahfud di acara tersebut seperti tertulis dalam rilis resmi Kemenko Polhukam.
"Pelarangan komunisme di Indonesia bersifat final. Sebab, berdasarkan Tap MPR No I Tahun 2003, tidak ada ruang hukum untuk mengubah atau mencabut Tap MPRS XXV Tahun 1966," tegasnya.