Parliamentary threshold kembali mengemuka di parlemen seiring rencana DPR akan menaikkan ambang batas dari 4 persen menjadi 7 persen. Bila disahkan, maka hanya parpol yang mendapatkan suara 7% ke atas saja yang bisa duduk di Senayan. Konstitusionalkah?
Dalam catatan detikcom, Senin (15/6/2020), Mahkamah Konstitusi (MK) sudah berulang kali mengadili soal konstitusionalitas parliamentary threshold tersebut. Di antaranya:
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VII/2009
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Putusan ini terkait parliamentary threshold sebesar 2,5 persen. Duduk sebagai pemohon yaitu Partai Politik Peserta Pemilu 2009 (PDP, PP, PPD, PPRN, PIS, PNBK Indonesia, PPIB, Pakar Pangan, Hanura, PKDI).
Akhirnya, MK menyatakan parliamentary threshold konstitusional dan tidak melanggar UUD 1945. Dalam putusan ini, ada dua pertimbangan hukum MK menyetujui parliamentary threshold:
Kebijakan parliamentary threshold diperbolehkan oleh konstitusi sebagai politik penyederhanaan kepartaian. Mengenai berapa besarnya angka ambang batas adalah menjadi kewenangan pembentuk undang-undang untuk menentukannya tanpa boleh dicampuri oleh Mahkamah selama tidak bertentangan dengan hak politik, kedaulatan rakyat, dan rasionalitas.
Ketentuan mengenai adanya parliamentary threshold seperti yang diatur dalam Pasal 202 ayat (1) UU 10/2008 tidak melanggar konstitusi karena ketentuan undang-undang a quo telah memberi peluang bagi setiap warga negara untuk membentuk partai politik tetapi sekaligus diseleksi dan dibatasi secara rasional melalui ketentuan parliamentary threshold untuk dapat memiliki wakil di DPR. Di mana pun di dunia ini konstitusi selalu memberi kewenangan kepada pembentuk Undang-Undang untuk menentukan batasan-batasan dalam Undang-Undang bagi pelaksanaan hak-hak politik rakyat
Mengenai berapa besarnya angka ambang batas adalah menjadi kewenangan pembentuk Undang-Undang untuk menentukannya tanpa boleh dicampuri oleh MK selama tidak bertentangan dengan hak politik, kedaulatan rakyat, dan rasionalitas.
Namun putusan ini tidak bulat. 2 Hakim konstitusi tidak sependapat. Yaitu:
Maruarar Siahaan berpendapat masalah penyederhanaan partai politik di parlemen sebagai strategi penguatan sistem presidensil adalah merupakan instrumen yang tidak proporsional dibandingkan dengan bobot kedaulatan rakyat dan hak asasi dalam konstitusi, yang seharusnya menjadi sumber legitimasi strategi tersebut. Prinsip keterwakilan yang telah dinyatakan dalam bentuk suara yang diberikan, sebagai kedaulatan rakyat, harus dipisahkan dengan masalah kepartaian sebagai determinant factor, yang sesungguhnya telah selesai bagi rakyat ketika calon yang direkrutnya telah ditawarkan dan dipilih secara final.
Akil Mochtar berpendapat tidak jelas ratio legis dan konsistensinya. Hal ini sekaligus menunjukkan tidak ada relevansinya dengan keinginan membangun Sistem Kepartaian Sederhana serta penguatan lembaga legislatif dalam sistem presidensiil yang kuat. Hal tersebut, telah memberikan perlakuan yang tidak sama serta menimbulkan ketidakpastian hukum (legal uncertainty) dan ketidakadilan (injustice) yang bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Tonton video 'DPR Bahas 3 Opsi Parliamentary Threshold Pileg 2024: Dari 4% Hingga 7%':