Rencana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk memberlakukan ganjil genap terhadap sepeda motor menuai kritikan. Kesiapan transportasi umum dipertanyakan apabila nantinya para pemotor bermigrasi ke moda angkutan massal.
Pemprov DKI Jakarta mengeluarkan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 51 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada Masa Transisi Menuju Masyarakat Sehat, Aman, dan Produktif. Dalam pergub tersebut diatur terkait pembatasan kendaraan dengan rekayasa ganjil-genap untuk kendaraan motor dan mobil.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pemberlakuan ganjil genap untuk sepeda motor perlu menunggu evaluasi sepekan ke depan. Rencana kebijakan ini menuai kritik.
"Rencana roda dua akan dikenakan ganjil genap, sangat tidak realistis. Sebab sudah dilakukan pembatasan jumlah penumpang dan kendaraan angkutan umum," kata Ketua Presidium Indonesia Traffic Watch (ITW), Edison Siahaan, Sabtu (6/6). Dia merujuk pada pembatasan 50% kapasitas angkutan umum selama pembatasan sosial berskala besar (PSBB) masa transisi.
Muncul kekhawatiran, pemberlakuan ganjil genap terhadap sepeda motor akan mengakibatkan pemotor beralih ke kendaraan umum. Di sisi lain, kendaraan umum juga dibatasi kapasitasnya menjadi hanya 50% saja.
Dikhawatirkan, prinsip jaga jarak (social distancing) akan terlanggar karena penumpang transportasi umum berdesak-desakan gara-gara berebut ruang yang terbatas.
![]() |
Transportasi umum di Jakarta dan kota-kota yang terkoneksi dengan Jakarta antara lain KRL, MRT, bus Transjakarta, hingga LRT.
"Bus tentu harus ditambah, karena posisinya sekarang harus jaga jarak," kata pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia (UI), Agus Pambagio, kepada detikcom, Minggu (7/6).
Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, Djoko Setijowarno, menakar berbagai jenis transportasi umum, yakni bus TransJakarta, KRL, LRT, hingga bus-bus umum. Hanya TransJakarta yang masih perlu ditingkatkan armada dan haltenya.
"TransJakarta masih banyak ruang untuk ditambah," kata Djoko kepada detikcom, Minggu (7/6).
Dia melihat headway (antara bagian depan suatu kendaraan dan bagian depan kendaraan berikutnya pada suatu waktu) di bus-bus TransJakarta masih bisa diisi. Bila bus itu ditambah, penumpang yang berasal dari pemotor yang kena ganjil-genap bisa ditampung, sehingga warga tak perlu berdesak-desakan di dalam bus TransJakarta.
"Kapasitas halte bisa diperluas lagi, karena di masa pandemi ini orang tidak boleh terlalu berdekatan saat mengantre," kata Djoko.
Lain halnya dengan KRL. Dia melihat KRL dari arah Bogor sudah tidak bisa ditambah lagi armadanya karena headway sudah mepet. LRT masih bisa ditambah, tapi pembangunannya sudah terjadwal sehingga tidak bisa serta-merta dikebut dalam waktu dekat. Untuk bus-bus dan angkot, dia menilai kapasitas muatannya terlalu sedikit sehingga berisiko untuk tidak menerapkan jaga jarak.
![]() |
Selain itu, supaya warga tidak berdesak-desakan di transportasi umum, perusahaan juga perlu mengatur waktu pola kerja karyawannya.
"Transportasi adalah kebutuhan turunan atau 'derived demand'. Maka demand utamanya yang berupa aktivitas kerja harus diatur," kata dia.
Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) meminta prinsip jaga jarak tetap ditegakkan lewat pengawasan di transportasi umum supaya virus Corona tidak menular lebih luas.
"Jarak aman di atas 1 meter," kata Ketua Umum IAKMI Ede Surya Darmawan kepada detikcom, Minggu (7/6).
Di era pandemi virus Corona, masyarakat tidak bisa menjalani hidup dengan kebiasaan lama, melainkan harus mengubah cara hidupnya ke arah kenormalan baru (new normal). Jaga jarak adalah salah satunya supaya hidup lebih terlindungi dari COVID-19. Supaya aturan ganjil-genap sepeda motor tidak membuat transportasi umum berdesak-desakan, transportasi umum itu harus diawasi.
"Transportasi umum harus diawasi supaya senantiasa mematuhi ketentuan maksimal 50% kapasitas," kata Ede.