Sementara itu, peneliti pada Departemen Politik dan Perubahan Sosial, Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia, Nicky Farizal, memberi pandangan bahwa gejala pelibatan militer dalam penanganan wabah COVID-19 dimulai akhir Januari 2020. Saat itu Jokowi memberi perintah pada Panglima TNI untuk melakukan evakuasi WNI yang berada di Wuhan, China.
Baru kemudian pada 13 Maret 2020, pemerintah mengeluarkan payung hukum untuk kebijakan pengerahan TNI melalui Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2020. Dalam aturan itu Asisten Operasi Panglima TNI ditunjuk sebagai Wakil Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19. Selain itu dilibatkan pula satuan TNI dari unsur medis, logistik, dan teritorial.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi memang kebijakan hukum Presiden sedari awal sudah menyiagakan TNI," ujar Nicky kepada detikcom, Jumat (29/5/2020). Seminggu setelah ditetapkan Perpres Nomor 7/2020 ini kemudian disempurnakan lagi melalui Perpres Nomor 9/2020 dengan kedudukan Asops Panglima TNI yang tak berubah.
Idealnya pengerahan TNI dalam OMSP, menurut Nicky, muncul melalui konsensus antara pemerintah dan DPR sebagai kebijakan politik negara. Namun yang terjadi adalah Keppres tersebut dikeluarkan tanpa prosedur di atas. "Karena tanpa komunikasi dengan DPR, dapat disimpulkan terkait pelibatan TNI dalam Gugus Tugas adalah diskresi Presiden karena kondisi mendesak," katanya.
Baca juga: 340 Ribu Personel TNI-Polri Kawal New Normal |
Selain itu, persoalan lain, menurut Nicky, adalah UU TNI tidak mencantumkan tugas penanggulangan bencana non-alam sebagai komponen dari OMSP. Hal ini berarti terdapat adanya kekosongan hukum. "Karena itu, presiden memakai hak prerogatif Kepala Negara sekaligus panglima tertinggi angkatan bersenjata untuk melengkapi komponen baru di dalam OMSP," ujarnya.
Melihat situasi ini tidak mengherankan ketika nanti masuk dalam fase kenormalan baru nantinya militer masih dilibatkan. Malah, menurut Nicky, tulang punggung dari penerapan fase ini justru operasi teritorial TNI. "Ke depan untuk menertibkan warga, sepertinya teritorial akan jadi ujung tombak," ujar lulusan bidang Strategic Studies dari University of Aberdeen, Skotlandia, itu.
Namun Nicky berpendapat perlu disusun aturan baru yang isinya berupa norma, standar, prosedur, dan kriteria pelibatan militer dalam operasi militer selain perang.
(pal/dnu)