Pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak bakal diselenggarakan pada 9 Desember 2020. Pemerhati pemilu menelaah kesiapan Komisi Pemilihan Umum (KPU) menggelar pilkada itu dalam waktu persiapan yang relatif mepet di tengah pandemi COVID-19.
Pendiri Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Hadar Nafis Gumay mengatakan sampai saat ini KPU baru menyelesaikan tiga peraturan untuk Pilkada 2020, yakni:
1. PKPU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Pemutakhiran Data dan Penyusunan Daftar Pemilih
2. PKPU Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pencalonan
3. PKPU Nomor 2 Tahun 2020 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Padahal, menurut Hadar, untuk melaksanakan seluruh tahapan pilkada dibutuhkan paling tidak delapan PKPU. "Perlu diingat delapan PKPU ini jika kondisinya dalam keadaan normal," ujar anggota KPU RI periode 2012-2017 itu kepada detikcom, Kamis (28/5/20202).
Sementara itu, kondisi saat ini istimewa karena tahapan-tahapan digelar di tengah kondisi darurat kesehatan akibat wabah virus Corona yang belum dapat dikendalikan sepenuhnya. Penyelenggaraan dalam kondisi darurat ini membutuhkan protokol COVID-19 yang ketat.
Karena itu, menurut Hadar, dibutuhkan satu peraturan tambahan yang berisi penyelenggaraan Pilkada 2020 dalam masa bencana. "Peraturan mengenai protokol COVID-19 ini kan ada di dokumen pemerintah dan gugus tugas. Semua ini perlu dimasukkan dalam PKPU ditambah sejumlah proses yang akan ditambahkan atau disesuaikan dengan kondisi bencana," ujarnya.
Melihat sempitnya waktu, Hadar menduga KPU akan menerbitkan PKPU dengan cara mencicil. Padahal, idealnya, dalam sebuah penyelenggaraan pemilu, semua peraturan terkait tahapan dikeluarkan secara lengkap dari awal.
Hadar membagikan pengalamannya saat menjadi anggota KPU periode 2012-2017. Salah satunya PKPU yang mengatur tahapan kampanye harus diselesaikan 2 atau 3 bulan sebelum dimulai. "Jadi semua pihak yang terlibat sudah mengetahui aturan mainnya jauh sebelum jadwal yang ditetapkan, dan petugas pun punya kesempatan banyak untuk dilatih dengan baik," ujarnya.
Belum lagi niat KPU memodifikasi beberapa bagian tahapan. Seperti contohnya proses pencocokan dan penelitian dalam pemutakhiran daftar pemilih yang diusulkan melalui kepala kampung atau Ketua RT/RW dan tak lagi mendatangi rumah per rumah. Usulan itu, menurut Hadar, dengan asumsi bahwa pemuka masyarakat ini punya data penduduk lengkap.
"Peraturan tidak ada mengakomodasi proses ini jadi harus diubah dulu. Sementara itu, perubahan peraturan harus melalui konsultasi lagi dengan pemerintah dan DPR. Kapan lagi ada waktu untuk itu?" ujar Hadar.
"Persoalan lain kalau ditemukan ada data yang tidak lengkap lantas bagaimana? Lalu bagaimana kemudian kalau akhirnya petugas harus ke rumah, dan warga tidak mau menerima petugas karena khawatir? Ini semua harus diatur lebih dulu karena akan mempengaruhi kualitas penyelenggaraan pilkada."
Sayangnya, ujar Hadar, KPU tidak menjelaskan dalam rapat dengan pemerintah bahwa masih banyak hal yang harus disiapkan, sehingga seolah-olah seluruh rangkaian menyiapkan dan menggelar tahapan pilkada mudah untuk dijalankan. "KPU tidak banyak berargumen untuk menyatakan bahwa untuk mengubah peraturan dan menyiapkan logistik tidak bisa dijalankan dalam waktu yang cepat," katanya.
Kondisi-kondisi yang harus dihadapi KPU itulah yang, menurut Hadar, mendorong sejumlah organisasi masyarakat sipil dan pemantau pemilu meminta pilkada serentak diundur hingga 2021. "Sebetulnya kami tidak optimistis pilkada ini punya hasil yang berkualitas dan bisa menjamin perlindungan akan ancaman kesehatan," katanya.
Sementara itu, analis politik Exposit Strategic Arif Susanto menyatakan putusan untuk menyelenggarakan pilkada pada Desember 2020 terkesan ceroboh dan tanpa perhitungan matang. Kecerobohan semacam itu justru berpeluang menghasilkan inefisiensi dan bahkan dapat mengorbankan kualitas demokrasi.
"Hal ini terutama karena KPU berencana mengajukan tambahan anggaran Rp 535,981 miliar untuk pelindung diri, sementara mereka tidak bisa menjamin pilkada akan bebas risiko kesehatan," ujar Arif.
Dia juga menyebut, dalam kondisi serbadarurat, hampir seluruh tahapan pilkada tidak dapat dilaksanakan secara optimal sehingga dapat menurunkan kualitas. Ketika kontrol dan pengawasan sulit dijalankan, penyelenggara pilkada menjadi permisif terhadap pelanggaran.
"Begitu pula dengan tingkat partisipasi yang terbatas, legitimasi hasil pilkada layak untuk dipertanyakan," ujar Arif.