Digugat Mahasiswa, Pengadilan Agama Berdiri Sejak Era Sultang Agung

Digugat Mahasiswa, Pengadilan Agama Berdiri Sejak Era Sultang Agung

Andi Saputra - detikNews
Rabu, 20 Mei 2020 11:43 WIB
Sidang Sengkeda Hasil Pilkada di MK --- Mahkamah Konstitusi kembali menggelar sidang perkara sengketa hasil Pilkada di Gedung MK, Selasa (12/1/2016). Sidang yang terbagi dalam 3 panel tersebut mengagendakan jawaban termohon dan pihak terkait. Banyaknya jumlah perkara dan pendukung masing-masing calon membuat MK membatasi pengunjung sidang. Bagi yang tidak bisa masuk ruang sidang, disediakan 3 layar lebar di sebuah tenda di luar gedung MK. (Ari Saputra/detikcom)
Foto: Ilustrasi MK. (Ari Saputra/detikcom).
Jakarta -

Pengadilan Agama digugat oleh seorang mahasiswa bernama Indriani Niangtyasgayatri ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena keberadaan Pengadilan Agama hanya diperuntukkan untuk orang Islam semata. Berdasarkan sejarah, Pengadilan Agama telah berdiri sejak zaman Kerajaan Mataram di era Raja Sultan Agung Sayyidin Panotogomo Abdurrahman.

Sebagaimana dikutip dari buku 'Pengadilan Agama: Cagar Budaya Nusantara Memperkuat NKRI', Rabu (20/5/2020), Pengadilan Agama pada zaman Sultan Agung (1613-1645) masih bernama Pengadilan Serambi. Penamaan itu karena sidang digelar di serambi masjid/lingkungan masjid. Sidang dipimpin oleh seorang penghulu dengan anggota ulama.

Pengadilan Serambi mengadili perkara perdata dengan memasukkan ajaran Islam sebagai sumbernya. Seperti terkait perkawinan, perceraian, warisan dan lain-lannya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Setelah Sultan Agung wafat, Amangkurat I naik takhta pada 1645. Perlahan, pengaruh Belanda mulai masuk ke sistem peradilan. Pengadilan perdata kemudian berdiri sendiri.

Setelah itu, terjadi berbagai variasi Pengadilan Agama di Nusantara. Seperti di Priangan, Betawi, Surakarta, Yogyakarta, Banten, dan Sumatera.

ADVERTISEMENT

Pada 1848, Belanda memberlakukan KUHP dan KUHPerdata dan KUHDagang. Dari sini, peran Pengadilan Serambi/Pengadilan Agama mulai dilokalisir oleh Penjajah Belanda. Pasal 134 ayat 2 Rechterlijke Ordinantie en Het Beleid Justice (Peraturan tentang Susunan Pengadilan dan Keijaksanaan Kehakiman) menyatakan:

Jika perselisihan-perselisihan perdata di antara orang-orang Islam jika dikehendaki oleh hukum adat, dapat diadili oleh hakim-hakim agama, sepanjang tidak ditentukan Undang-undang.

Sejak saat itu pula Pengadilan Agama dilarang tegas mengadili perkara pidana.

"Peradilan Agama atau disebut juga dengan peradilan Islam telah tumbuh dan berkembang serta melembaga di bumi Nusantara sejak masyarakat menganut agama Islam," kata penulis buku, Prof Abdul Manan yang juga mantan Ketua Muda MA bidang Agama dalam halaman 50.

Abdul Manan membagi pembabakan Pengadilan Agama menjadi:

Masa Pra-Islam
Periode Takhim
Periode Ahlul Wal Aqdi
Periode Tauliah dari imam
Masa Sebelum Kemerdekaan
Masa Kekuasaan VOC
Masa Hindia-Belanda
Masa Pendudukan Jepang
Masa Pasca Kemerdekaan
Periode 1945-1970
Periode 1970-1980
Masa Setelah UU Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman
Masa Setelah Lahirnya UU Nomor 7/1989 tentang Peradilan Agama

Dari fakta sejarah di atas, Abdul Manan meyakini Pengadilan Agama sudah ada jauh sejak tahun 1882. Di mana tahun itu keluar Staatblad 1882 Nomor 152 yang ditandatangani Raja Williem yang mengatur sistem peradilan di Indonesia

"Usaha-usaha untuk menghapuskan peradilan agama yang identik dengan hukum Islam sudah dimulai sejak VOC mulai menginjakkan kaki di bumi Nusantara ini. Usaha ini dengan cara mengurangi kewenangan peradilan agama sedikit demi sedikit. Pada 1830, pemerinta Belanda menempatkan peradilan agama di bawah Landraad (Pengadilan Negeri). Hanya Landraad yang berkuasa untuk melakukan Excecutoire Verklaring pelaksanaan putusan. Pengadilan Agama tidak berwenang menyita barang dan uang. Tidak adanya kewenangan ini berlasngsung sampai dengan lahirnya UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan," ujar Abdul Manan.

Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Indriani menggugat Pengadilan Agama dengan alasan UU Peradilan Agama bertentangan dengan UUD 1945 yaitu Pasal 28E ayat 1 dan ayat 2, Pasal 28E ayat 1, Pasal 28E ayat 2. Menurut Indriani, namanya Pengadilan Agama tetapi faktanya hanya mengakomidir agama Islam semata.

"Hal ini tampak memberikan perlakuan yang berbeda atau diskriminasi kepada pemohon pada khususnya, kelurga pemohon, maupun kepada seluruh bangsa Indonesia yang beragama selain agama Islam," ujar Indriani.

Harapan Indriani, MK menghapus syarat wajib beragama Islam itu. Sehingga kepentingan agama minoritas juga menjadi kepentingan bersama dan mendapatkan keadilan sebagaimana yang didapatkan oleh agama mayoritas.

"Menjadikan hak-hak warga negara Indonesia menjadi terlindungi sepenuhnya oleh negara dan Pemohon pun secara serta merta juga terlindungi hak-haknya dan juga terlindungi dari stigma yang mengatakan bahwa agama selain Islam tidak perlu untuk diadili secara agamanya, melainkan cukup diadili secara perdata saja," tutur Indriani.

Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads