Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Surabaya Raya diperpanjang. Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya, Laila Mufidah, meminta Pemkot Surabaya menyikapi hal ini secara cepat dan tetap. Sebab, grafik penyebaran COVID-19 di Kota Pahlawan ini masih tinggi.
Ia juga mengatakan Pemkot Surabaya harus punya roadmap yang jelas dalam penanganan COVID-19 ini. Menurutnya, dari roadmap yang jelas dan terukur itu penanganan COVID-19 bisa lebih baik dan efektif.
"Ada banyak evaluasi yang harus dilakukan Pemkot Surabaya dengan sudah berjalannya PSBB tahap satu kemarin. Misalnya bagaimana target yang terukur dari penerapan PSBB itu," kata Laila dalam keterangan tertulis, Senin (11/5/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menjelaskan ada target-target yang harus dipenuhi, misalnya mencakup berapa jumlah pengujian sampel dan tes PCR yang telah dilakukan. Selain itu juga perlu diukur sejauh mana agresivitas pelacakan penyebaran COVID-19 yang sudah dilakukan.
"Perlu dikaji juga, seberapa ketat monitoring potensi penyebaran COVID-19 di beberapa cluster," ungkap politisi dari PKB itu.
Laila menambahkan pengawasan cluster COVID-19 sangat penting untuk mengantisipasi terjadinya cluster baru. Sebab menurutnya cluster yang ada di Surabaya justru diabaikan. Ia mencontohkan terkait adanya cluster di pabrik rokok di kawasan Rungkut yang terkesan tidak dihiraukan Pemkot Surabaya.
Selanjutnya, ia menjelaskan dari roadmap tersebut bisa disusun pula penanganan jaring pengaman sosial dari berbagai sumber. Baik dari pemerintah pusat, provinsi maupun kota.
"Yang terjadi selama ini, Pemkot Surabaya justru terlambat mendistribusikan jaring pengaman sosial itu. Ini seharusnya tidak terjadi jika roadmap disusun jelas sejak awal. Dan ini memang tidak seharusnya terjadi, karena menyangkut kesejahteraan rakyat yang terdampak pandemi COVID-19," jelasnya.
Baca juga: Terpapar Corona, 8 Pasar di Surabaya Ditutup |
Menurut Laila, roadmap yang dimiliki Pemkot Surabaya semestinya mencakup seluruh kegiatan penanganan COVID-19. Mulai promotif, preventif, dan kuratif. Ia menambahkan roadmap juga harus jelas mengatur penerapan anggaran, refocusing, realokasi yang akuntabel, dan transparan.
"Mungkin ada yang bertanya, kemampuan fiskal APBD Surabaya bagaimana dalam penanganan COVID-19 ini? Pertanyaan itu bisa saya jawab dengan ini bukan persoalan cukup memadai atau tidak, tapi mau atau tidak melakukannya," tukasnya.
Ia mengamini target pendapatan Rp 4,3 triliun dari sektor jasa khususnya perhotelan, restoran yang tahun lalu berkontribusi pada PAD sebesar Rp 800 miliar akan berkurang. Selain itu, dana transfer dari pusat bisa berkurang sampai 10 persen atau sekitar sekitar Rp 200 miliar. Pengurangan itu bisa menyebabkan penurunan APBD sekitar Rp 1,5 triliun. Dari Rp 10,3 triliun menjadi Rp 8,8 triliun.
Sementara itu, menurut Laila yang perlu dicatat dan digarisbawahi adalah regulasi dari pusat lewat surat keputusan bersama (SKB) Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri, sebenarnya sangat memberikan ruang untuk penyesuaian postur perubahan anggaran yang fleksibel.
"Kebijakan yang tertuang dalam SKB itu tentu tujuannya baik, agar pandemi COVID-19 bisa segera teratasi. Jadi sekali lagi ini bukan masalah cukup atau tidak, tapi mau atau tidak," tegas Laila.
Ia juga mengaku banyak menerima keluhan dari masyarakat terdampak yang belum menerima bantuan. Seperti masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang tidak tepat pada sasaran. Ia mencontohkan bahwa masih ada orang kaya yang terdata menerima bantuan MBR dan juga orang meninggal yang masih terdata dalam penerima bantuan. Sedangkan warga sekitar yang seharusnya menerima bantuan justru belum mendapatkan.
"Pernyataannya, bagaimana pendataan dan verifikasi selama ini?" ujar Laila.
Dalam pengamatan Laila, persoalan yang terjadi di atas adalah dampak dari lemahnya teamwork lintas OPD di Pemkot Surabaya. Inilah kenapa menurut dia roadmap yang jelas dan terukur itu sangat mendesak diperlukan dan dipaparkan secara transparan ke publik.
Menurutnya, yang tidak kalah penting yakni persoalan Puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan serta tempat observasi dan deteksi dini COVID-19 kurang berjalan maksimal. Menurutnya tidak heran jika Surabaya tertinggi di Jatim tertinggi dalam jumlah penderita COVID-19 di Jawa Timur.
Sementara itu, Laila juga menyoroti penerapan PSBB di Surabaya. Menurutnya respons Surabaya masih kurang dari dibanding Sidoarjo dan Gresik dalam penekan jumlah COVID-19 selama PSBB.
"Hal ini semua yang membuat saya dan para legislator sangat gelisah akhir-akhir ini. Dari kegelisahan itulah kami kemudian berinisiatif membentuk pansus untuk mengawal percepatan penanganan COVID-19," ungkap Laila.
Terkait pembentukan Pansus yang sempat terjadi perdebatan. Pihaknya menjelaskan jika DPRD dan pemkot harus berkolaborasi bersama-sama dalam penanganan COVID-19 di Surabaya dilakukan secara transparan dengan tujuan terukur dan sistematis.
"Penilaian pihak tertentu yang menganggap usulan pansus ini menimbulkan kegaduhan, menurut saya sangat berlebihan. Tidak beralasan. Sebab, saat ini semua pihak harusnya bergerak bersama-sama. Memberikan kontribusi bersama-sama. Tentu sesuai tugas, pokok, dan fungsinya," jelasnya.
Menurut Laila, pemkot tidak bisa sendirian dalam menangani pandemi ini. Ia pun mencontohkan di daerah lain, di negara lain, semua stakeholder juga bergerak bersama-sama.
"Pemkot juga tidak bisa menangani pandemi ini tanpa roadmap yang jelas. Hanya bekerja dengan peta buta," ujar dia.
Laila berharap kerja-kerja melawan pandemi ini bukan dilakukan dengan mencari sensasi dan pencitraan. "Jangan ada ego sentris dalam menghadapi masalah ini. Semua harus bergandeng tangan menyelamatkan bangsa dan negara," pungkasnya.
(mul/mpr)