Namun Dicky mengingatkan, proses evaluasi itu tak bisa dilakukan serampangan. Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 harus melibatkan pakar epidemiologi dan penyakit menular. "Persoalannya sekarang, siapa yang mengevaluasi juga harus tepat, tak bisa sembarangan. Harus orang yang paham strategi menghadapi pandemi," katanya.
Tak cukup itu kolaborasi para ahli lintas disiplin ilmu harus menjadi bagian dalam evaluasi itu agar hasilnya jadi lebih komprehensif. "Jangan lupa libatkan para ahli terkait lainnya, seperti ahli ekonomi, sosiologi, dan juga psikologi," ujar Dicky.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dicky sendiri berpendapat konsep PSBB yang berlaku saat ini selayaknya diubah meski ada daerah seperti Provinsi DKI Jakarta yang sudah menerapkan selama hampir satu bulan. Menurutnya lebih tepat jika dilakukan pada struktur wilayah terkecil atau sedang misalnya kelurahan atau kecamatan.
"PSBB parsial atau lunak, selain lebih efektif juga secara dukungan program seperti dana yang dibutuhkan lebih kecil. Di atas itu sudah sangat berat konsekuensinya. Masyarakat kalangan bawah terutama yg berpenghasilan tidak tetap akan terkena imbasnya. Ini yang disebut dengan efek kolateral pandemi," kata Dicky
"Tidak ada kata terlambat untuk mengubah. Sama halnya dengan larangan mudik juga tidak ada kata terlambat. Karena menyelamatkan setiap nyawa sangat penting," tuturnya.
Apalagi menurut Dicky, PSBB hanyalah hanyalah upaya pelengkap dalam menjamin terlaksananya strategi utama pandemi sekaligus memperlambat terjadinya penularan. Strategi utamanya yakni penguatan aspek pengetesan, pelacakan kasus dan isolasi.
"PSBB yang dilakukan tanpa penguatan strategi utama hanyalah sia sia," ujarnya. "Saya juga saya ingin mengingatkan kita semua, bahwa pandemi ini sangat berpotensi berlangsung lama, hingga obat atau vaksin ditemukan. Artinya penguatan strategi sangat penting."
(pal/dnu)