Ketika pertama kali pemerintah Indonesia mengumumkan secara resmi dua orang yang terjangkit virus Corona, banyak masyarakat yang keberatan dengan dibukanya informasi pada publik terkait nama, tempat domisili, dan riwayat perjalanan dari pasien.
Namun sejalan dengan semakin besarnya jumlah orang yang terjangkit, hasil survei persepsi publik yang diadakan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bersama sejumlah perguruan tinggi seperti Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Universitas Gajah Mada (UGM) menunjukkan ada perubahan sikap mayoritas responden.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Survei yang dilaksanakan pada 20-21 Maret 2020 ini memakai metode survei online berbasis Google Form yang disebar melalui sosial media seperti Facebook, Instagram, Twitter serta aplikasi pesan instan seperti WhatsApp dan Line. Mayoritas setuju data pribadi pasien COVID-19 dibuka ke publik, dengan kadar data pribadi yang bervariasi.
Peneliti dari Pusat Krisis dan Bencana Fakultas Psikologi UI Dicky Chresthover Pelupessy yang turut terlibat dalam survei mengatakan sebanyak 15.101 responden berhasil dijaring. Namun setelah dilakukan pembersihan data, sampel akhir menjadi sebesar 12.061.
"Kami juga mengakui ada keterbatasan studi karena survei dilakukan secara online, sehingga muncul kecenderungan mayoritas responden adalah orang kota dan berpendidikan tinggi," ujar doktor ilmu Psikologi Komunitas dari dari Victoria University, Australia itu.
Dicky memaparkan mayoritas responden sebesar 61,2% menyetujui nama pasien positif COVID-19 dibuka ke publik. Kemudian yang menyetujui alamat domisilinya dibuka sampai tingkat kecamatan sebesar 64%, lalu dibuka sampai kelurahan sebanyak 60,8%.
"Dan lebih detail sampai tingkat RT/RW mencapai 65,8%," ujarnya.
Menurut Dicky, pola penerimaan ini relatif sama, baik kelompok berjenis kelamin laki-laki atau perempuan. Hal yang sama juga ditemukan di seluruh tingkat pendidikan. "Begitu juga jika responden dibagi berdasarkan daerah domisili kecenderungan relatif sama," ujar pakar Psikologi Sosial dari UI itu.
Selain soal identitas dan alamat pasien, Dicky juga memaparkan temuan lain. Sebanyak 97,2% responden setuju riwayat perjalanan pasien yang terjangkit virus Corona perlu dipublikasikan untuk publik. "Mayoritas responden merasa riwayat perjalanan ini informasi yang penting," katanya.
Namun Dicky mengingatkan pembukaan informasi-informasi tersebut tak bisa berdiri sendiri. Pembukaan informasi harus diiringi langkah-langkah edukasi pada masyarakat. Pasalnya karena kecemasan masyarakat yang makin hari makin meningkat mulai muncul tindakan-tindakan seperti perundungan, pengucilan bahkan pengusiran.
Pemerintah atau otoritas terkait perlu menjelaskan urgensi pembukaan informasi itu. Misalnya diperlukan untuk pemetaan atau panduan bagi masyarakat, daerah mana saja yang perlu ditingkatkan kewaspadaan. "Pemerintah harus sampaikan keterbukaan ini agar masyarakat tahu daerah mana yang harus dihindari atau kalau tidak perlu tak usah ke sana," ujar Dicky.
Wakil Sekjen Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia itu juga menjelaskan pemerintah juga harus memberi pemahaman pada masyarakat terkait tindakan apa yang sesuai atau tidak baik secara sosial maupun hukum jika informasi dibuka.
"Misal ada yang mencoba membully atau mengusir, apa konsekuensi hukum yang bisa diterima,"ujar Dicky.
"Kita butuh informasi terbuka sebagai panduan yang membuat kita lebih baik melakukan penanganan pecegahan penyebaran. Jangan sampai keterbukaan membuat kecemasan semakin tinggi dan ada tindakan yang justru menciptakan situasi makin rumit dan pelik," tuturnya.
Ketika ditanyakan apakah pembukaan identitas pasien ini tak akan bertentangan dengan Undang-undang Kesehatan? Dicky menyebut UU Kesehatan sebenarnya membuka peluang pengungkapan data. "Dengan catatan pembukaan untuk kepentingan masyarakat, sekarang kan kita dalam situasi darurat pandemi. Bukan untuk membahayakan pasien."
Sementara itu hasil penelitian secara kualitatif yang dilakukan peneliti kebencanaan dari UGM, Esti Anantasari menemukan kecenderungan adanya persetujuan dari publik agar informasi identitas pasien dibuka namun dengan prasyarat tertentu.
"Harus diikuti dengan edukasi. Jangan sampai keterbukaan informasi menimbulkan stigma baru terhadap pasien dan keluarga. Informasi juga harus betul-betul punya tujuan mencegah penularan COVID-19," ujar Esti.
"Informan yang setuju mengatakan manfaatnya sangat besar untuk kepentingan bersama terutama sektor informal yang tetap bekerja di luar rumah dan harus berinteraksi dengan banyak orang."
Sementara informan yang tidak setuju memberi argumentasi pembukaan identitas itu melanggar privasi. "Kalau sangat detail bisa saja orang lain menyalahgunakan identitas," ujar Esti.