Komisaris independen PT Garuda Indonesia, Yenny Wahid, berbicara soal ketidakadilan, khususnya pada perempuan. Yenny mencontohkan ketidakadilan yang sering diterima oleh kaum perempuan.
"Ketika kita memperlakukan ibu kita dengan menggampangkan sarapan yang dibuat ibu kita, kita sudah memberikan perlakuan yang tidak adil. Kenapa? Ini adalah discrimination terhadap perempuan," kata Yenny di Balai Purnomo Prawiro, Universitas Indonesia, Depok, Senin (17/2/2020).
"Ini salah satu contoh ketidakadilan sosial. Perempuan banyak dibilang harus berada dalam ranah domestik. Bagian ngucek, ngulek, masak, bersih-bersih, cuci-cuci, membesarkan anak itu ranah perempuan, ya, Prof?" sambungnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia juga memberikan contoh ketidakadilan lainnya dengan membandingkan antara perempuan dan laki-laki yang berlatar belakang berbeda. Seorang perempuan bernama Mimit dengan ras Papua dan beragama Kristen dengan seorang laki-laki bernama Momot asal Jawa beragama Islam.
"Kalian antara Mimit dan Momot ini apakah menurut kalian Mimit-Momot mendapat perlakuan setara di Indonesia? Di mata hukum setara, di masyarakat, setara tidak? Ini yang dinamakan perbedaan antara equality dan equity. Equality itu adalah kesetaraan, equity itu keseimbangan," ujarnya.
Menurut Yenny, ketidakadilan pada perempuan tidak hanya terlihat dari suku, ras, serta agamanya, tapi juga dalam hal pekerjaan ataupun karir politik. Dia pun menyebut ketidakadilan itu sebagai social injuctice.
"Orang seperti Mimit tidak akan mungkin bersaing dengan Momot. Mimit, yang Papua-Kristen dan perempuan, akan sangat sulit bersaing dengan Momot, yang Jawa-Islam dan laki-laki. Mau kerja biasanya perusahaan akan melihat dulu oh si Momot ini nggak akan cuti hamil. Buat perusahaan akan lebih menguntungkan untuk meng-hire Momot," ucap Yenny.
"Oh ada Pilkada di daerah itu, maka banyak orang bilang perempuan nggak boleh jadi pemimpin, Momot yang diutamakan. Perempuan Kristen, Papua pula, nggak boleh. Inilah yang namanya social injuctice," tuturnya.
Yenny menekankan bahwa amanat konstitusi yang menjamin kesetaraan bagi seluruh warga negara Indonesia tidaklah cukup. Untuk itu, dia menilai perlu ada keseimbangan.
"Konstitusi kita menjamin semua warga mau nggak mau Kristen-Islam-Budha-Hindu dll, kepercayaan Jawa-Sunda-Papua dll semua setara di mata hukum, but it's not enough, tidak cukup karena perlu ada equity," pungkasnya.