Pasar malam itu juga jadi tempat cuci mata bagi para bujang. Saat itu gadis Tionghoa masih dipingit. Mereka tak boleh keluar dari rumah dan bebas menerima tamu pria. Hanya pada pasar malam dan malam Cap Go Meh saja para perempuan muda ini bisa keluar dari rumah. Itu pun dengan kawalan keluarga dekat.
Setiap petang menjelang Imlek, kampung diramaikan oleh para pengamen yang datang dari daerah pinggiran, seperti Karawang, Bekasi, Tambun, dan Cikarang. Mereka membawakan orkes tanjidor, musik rakyat yang konon berasal dari Portugis. Kata tanjidor berasal dari kata Portugis tangedor.
Orkes ini dimainkan ramai-ramai lima sampai delapan orang. Mereka membawa alat-alat musik berupa tanjidor (tambur besar), trompet, klarinet, seruling, dan trombon. Mereka mendatangi rumah-rumah orang Tionghoa Betawi. Umumnya mereka membawakan lagu-lagu mars Belanda tempo dulu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Guru besar ilmu antropologi Universitas Indonesia James Dananjaya dalam buku 'Folklore Tionghoa' menyebut para personel grup tanjidor ini kemungkinan besar adalah keturunan etnis Tionghoa yang masuk Islam.
Namun, karena kulit mereka berubah jadi cokelat dan sudah beralih keyakinan, para pemain tanjidor ini tidak lagi terlihat seperti orang Tionghoa. "Yang didatangi merasa senang dan menghadiahi mereka angpau, uang yang dibungkus kertas merah," tulis James Dananjaya.