"Pemerintah Indonesia terus memperbarui teknologi pemantauan cuaca dan iklim. Langkah ini penting agar kebijakan mitigasi perubahan iklim bisa ditentukan dengan tepat. Pembaruan teknologi itu juga penting untuk menentukan aksi-aksi adaptasi perubahan iklim yang diperlukan," jelas Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati di Madrid, Spanyol, Kamis (5/13/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Secara statistik periode ulang terjadinya El Nino-La Nina pada periode 1981-2019 mempunyai kecenderungan berulang semakin cepat dibandingkan periode 1950-1980," kata dia.
Perubahan iklim yang terjadi adalah buntut dari terus meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer. Menurut Dwikorita, konsentrasi gas rumah kaca (GRK) tercatat paling tinggi dalam sejarah dengan CO2 (karbondioksida) mencapai 405.5 ppm (part per million), CH4 (metana) sebanyak 1859 ppb (part per billion) and N2O (dinitrogen monosida) mencapai 329.9 ppb.
"Catatan tersebut berarti konsentrasi GRK sudah mencapai masing-masing 146%, 257% dan 122% di atas masa prarevolusi industri," imbuhnya.
Indonesia terus memperbaiki teknologi pemantauan iklim dan cuaca agar bisa memberikan hasil pemantauan iklim dan cuaca sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Sistem observasi yang ada di lapangan diperkuat dengan dukungan sistem informasi.
"Berkat pembaruan teknologi pemantauan itu, prediksi yang awalnya hanya bisa dalam jangka waktu tiga sampai empat dasarian -sepuluh harian berturut turut-, kini bisa dilakukan hingga tiga bulan ke depan," katanya.
"Indonesia kini juga bisa membangun sistem peringatan dini cuaca dan iklim mulai dari prediksi terjadinya banjir, kekeringan, hingga kemungkinan mewabahnya penyakit demam berdarah akibat perubahan iklim," katanya.
Sekolah Iklim
Menurut Dwikorita, penggunaan teknologi pemantauan cuaca dan iklim terbaru sangat penting bagi masyarakat, terutama yang terdampak dari perubahan iklim seperti petani dan nelayan.
Sebelumnya, para petani berpatokan pada 'pranoto mongso', sebuah pengetahuan urutan waktu sebagai penanda kapan waktu yang tepat untuk melakukan aktivitas pertanian mereka.
Akan tetapi, perubahan iklim yang terjadi, membuat sistem pranoto mongso tidak lagi 'akurat'.
"Ketika masuk waktu tanam, malah tidak bisa karena tidak turun hujan," katanya.
Mengatasi permasalahan itu, BMKG mengembangkan Sekolah Lapang Iklim (SLI). Dengan adanya sekolah ini, para petani ata7 nelayan bisa meningkatkan adaptasi terhadap perubahan iklim.
Di sekolah ini, petani akan dibimbing untuk mengembangkan pola budidaya pertanian baru menyesuaikan perubahan iklim yang terjadi. Sedangkan para nelayan bisa mendapat pembinaan sehingga bisa memahami cuaca lautan lebih baik dan mengetahui lokasi keberadaan ikan (fishing ground) .
"Ini mengubah paradigma nelayan dari 'mencari ikan' menjadi 'menangkap ikan'," katanya.
Kampung Iklim
Sementara itu Kepala Badan Informasi dan Geospasial Profesor Hassanuddin Z Abidin menyatakan, informasi geospasial sangat bermanfaat untuk manajemen pengurangan risiko kebencanaan. Indonesia sendiri sangat rawan akan bencana alam seperti gempa bumi, tanah longsor, tsunami hingga letusan gunung berapi.
Bencana alam terkait hidrometerologi seperti banjir longsor serta kekeringan dan kebakaran lahan menjadi tren pada periode tahun 2003-2018. Padahal, sekitar 40% penduduk Indonesia tinggal di wilayah rawan bencana.
"Informasi spasial seperti peta dasar dan tematik mendukung pengurangan risiko bencana," kata Hasanuddin.
Informasi tentang kebencanaan disampaikan melalui Portal Geospasial (http://tanahair.indonesia.go.id/portal-web). Sumber data informasi tersebut berasal dari masing-masing kementerian, termasuk KLHK. Portal ini merupakan upaya pemerintah untuk membangun transparansi data dan informasi melalui kebijakan One Map Policy yang antara lain menghasilkan satu data rujukan nasional.
Program yang dilaksanakan oleh BMKG dan BIG tersebut, sejalan dengan upaya KLHK dalam membangun ketahanan masyarakat terhadap perubahan iklim dan penerapan pola hidup rendah emisi GRK melalui pelaksanaan Program Kampung iKlim (ProKlim).
Berdasarkan data KLHK 2.086 lokasi setingkat desa/kelurahan dan dusun/RW telah teregistrasi sebagai Kampung Iklim. Baru-baru ini KLHK memberikan penghargaan kepada sejumlah 187 penerima tropi -184 Kategori ProKlim Utama dan 3 Kategori ProKlim Lestari-.
Hassanudin melanjutkan, pihaknya juga bisa menyediakan informasi terkait cadangan karbon di lapangan untuk mendukung diperolehnya kebijakan pengelolaan lahan yang tepat.
Halaman 2 dari 2
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini