Kandas Gugatan Pertama UU KPK

Round-Up

Kandas Gugatan Pertama UU KPK

Tim detikcom - detikNews
Jumat, 29 Nov 2019 07:47 WIB
Ketua MK Anwar Usman (Foto: Ari Saputra)
Jakarta - Gugatan pertama terhadap UU KPK kandas. Mahkamah Konstitusi (MK) tak menerima permohonan uji materi UU KPK yang diajukan mahasiswa lantaran permohonan itu dianggap salah konteks atau error of objectum.

"Permohonan para pemohon mengenai pengujian Undang-undang nomor 16 tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah salah objek, Permohonan para pemohon tidak dipertimbangkan lebih lanjut," kata Ketua MK Anwar Usman saat membacanya putusan di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis (27/11/2019).

"Mengadili, menyatakan permohonan para pemohon tidak dapat diterima," imbuhnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT



Hakim Konstitusi Enny Urbaningsih juga memberikan penjelasan mengenai permohonan tersebut. Pemohon dianggap salah memahami UU No 16 tahun 2019.

"Setelah mahkamah membaca perbaikan permohonan, para pemohon tersebut ternyata bahwa Undang-undang Nomor 16 tahun 2016 yang disebut pemohon sebagai Undang-undang perubahan kedua atas Undang-undang nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah tidak benar," kata Enny.

"Karena Undang-undang Nomor 16 tahun 2019 adalah Undang-undang tentang perubahan atas Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, dengan demikian permohonan para pemohon berkenaan dengan Undang nomor 16 tahun 2019 merupakan permohonan yang salah objek," ucapnya.




Permohonan uji materi ini diajukan mahasiswa UI, Zico Leonard Djagardo Simanjuntak dan beberapa orang lainnya. Zico memberikan pembelaan atas permohonan yang tak diterima MK.

"Di putusannya Undang-undang Nomor 16 yang mana kami salah tulis? Itu yang pertama. MK yang majukan (jadwal sidang) tapi kemudian MK yang bilang kami salah menuliskan. Ya bagaimana kami bisa menulis Nomor yang benar sementara nomornya memang belum ada penomoran?" kata Zico di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat.

"Sidang (perdana) itu tanggal 23, itu sidang perbaikan. Tapi dimajukan oleh MK ke tanggal 14. Sedangkan Undang-undang dinomori tanggal 17. Itu jadi pertanyaan besar kami," imbuhnya.



Menurut Zico, UU KPK yang baru direvisi belum memiliki nomor saat permohonan diajukan ke MK. Dia akhirnya menuliskan UU itu dengan nomor 16 tahun 2019 karena merujuk pada website JDIH.

"Kami kan harus memasukkan berkas tanggal 14 September, sementara dinomori tanggal 17. Jadi di tanggal 14 itu kami membuka website JDIH, dokumen hukum punya pemerintah, UU terakhir dinomor itu nomor 15, kami memprediksi semoga 16 dan kemudian karena kami percaya oleh penawaran dari panitera, nanti boleh diperbaiki di sidang tanggal 21. Ya udah kami tuliskan dulu nomor 16. Tahu-tahu dinomori pemerintah UU Nomor 19," ungkapnya.



Setelah tahu nomor undang-undang dalam permohonan mereka salah, Zico dkk sempat mencabut permohonan dan memberikan permohonan baru. Dia juga mempertanyakan sikap MK yang membuat putusan atas permohonan yang sudah dicabut.

"Kami surati MK dua kali menanyakan kenapa MK majukan jadwal sidang? Tapi MK tidak jawab. Terus akhirnya pemohon sepakat, ya sudah kita cabut saja permohonan. Kita ajukan permohonan tanggal 19 November, tanggal 20 kami terima surat panggilan. Panggilan putusan untuk hari ini. Ini menimbulkan pertanyaan bagi kami. Kenapa sudah dicabut tapi masih diputus," ujarnya.



Selain diajukan mahasiswa, gugatan terhadap UU KPK baru juga diajukan oleh tiga pimpinan KPK yaitu Agus Rahardjo, Laode M Syarif dan Saut Situmorang. Mereka mengajukan gugatan terhadap UU KPK baru atas nama pribadi.

"Kami datang ke sini pribadi dan sebagai warga negara. Mengajukan judicial review terkait UU KPK yang baru, UU Nomor 19 Tahun 2019. Kami didukung oleh 39 lawyer kalau tidak salah. Pengajunya juga cukup banyak, antara lain kami bertiga sebagai pribadi," kata Agus di gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (20/11/2019).

Tak hanya bertiga, Agus menyebut ada banyak pihak lain yang mengajukan gugatan terhadap UU KPK yang baru itu. Agus juga sempat menyinggung soal Perppu KPK.

"Harapan kami sebenarnya pengen presiden mengeluarkan Perppu," ujar dia.



Sementara itu, Laode M Syarif menyebut dua komisioner lain yaitu Alex Marwata dan Basaria Pandjaitan mendukung langkah judicial review UU KPK meski tak ikut menjadi pemohon.

"Ya mereka tidak memasukkan nama tapi mendukung. Kami mewakili. Lawyer ada berapa ada 39 orang. yang memohon banyak 13 orang termasuk Betti Alisjahbana, Erry Riana (. Erry Riyana Hardjapamekas) Pak Yasin (Mochamad Jasin) mantan komisioner KPK siapa lagi, Ismid Hadad, dan banya lagi. Oleh karena itu kita berupaya, di samping kita berharap kepada Presiden mengeluarkan Perppu pada saat yang sama kami juga yang memenuhi harapan dari banyak pihak yaitu judicial review," ucap Wakil Ketua KPK Laode M Syarif di kantornya Jl Kuningan Persada, Jakarta Selatan.

Syarif menjelaskan judicial review itu dilakukan karena penyusunan UU KPK yang baru dinilai banyak permasalahan dari segi formil maupun materiil. Syarif menyebut permasalahan itu antara lain pembahasan UU KPK tidak masuk agenda prolegnas, KPK tidak dilibatkan dalam pembahasan di DPR hingga KPK hingga kini belum menerima naskah akademik UU KPK yang baru.

"Ada beberapa hal, misalnya itu kan tidak masuk prolegnaskan tiba-tiba muncul. Yang kedua kalau kita lihat dari misalnya waktu pembahasannya dibuat sangat tertutup bahkan tidak berkonsultasi dengan masyarakat dan bahkan sebagai stakeholder utama KPK tidak dimintai juga pendapat. Yang ketiga naskah akademiknya pun kita ndak pernah diperlihatkan, apa kalian kalian pernah baca naskah akademik tentang tidak ada," ucap Syarif.

Pihak Istana menghormati upaya uji materi yang diajukan tiga pimpinan KPK itu. Istana menegaskan Indonesia merupakan negara hukum.

"Indonesia adalah negara hukum. Kita menghormati semuanya apa yang dilakukan oleh siapa pun yang melakukan judicial review terhadap UU KPK," ujar Sekretaris Kabinet Pramono Anung di Kantor Presiden, Jakarta Pusat, Kamis (21/11).

Sedangkan Komisi III menyebut langkah tiga pimpinan KPK itu sesuai dengan konstitusi. Komisi III menilai tiga pimpinan KPK itu telah memberikan contoh baik kepada publik.

"Saya memberikan apresiasi terhadap KPK bahwa proses yang dilakukan KPK hari ini itu adalah proses jalan konstitusi. KPK adalah lembaga yang sangat bermartabat, melakukan terobosan uji materi itu jalan konstitusi," kata Ketua Komisi III DPR Herman Hery kepada wartawan, Rabu (20/11).


Simak Video "Kandasnya Gugatan UU KPK di Tangan MK"

[Gambas:Video 20detik]

Halaman 2 dari 4
(knv/idn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads