Gelaran Munas Alim Ulama dan Konbes NU tahun 2012 digelar di Pondok Pesantren Kempek, Palimanan, Cirebon, pada 14 hingga 17 September 2012.
Dokumen Hasil Keputusan Munas Alim Ulama dan Konferensi Besar NU tahun 2012 dapat diunduh di situs NU Online, detikcom mengaksesnya pada Kamis (28/11/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bukan pilpres langsung yang dikritisi dalam dokumen ini, melainkan pilkada langsung yang dikritisi. NU menyadari Pilkada punya tujuan mulia, yakni melibatkan partisipasi masyarakat dalam memilih kepala daerahnya. Namun tujuan mulia itu dinilai tidak tercapai. Berikut kalimatnya.
"Dalam praktik pelaksanaan pemilukada selama ini, dampak positif (mashlahah) yang diharapkan tidak selalu terbukti. Bahkan sebaliknya, dampak negatif (mafsadah) baik dalam proses maupun dalam produknya telah terjadi dalam skala yang sangat mencemaskan," demikian bunyi poin ke-2 dalam Bab II Komisi Bahtsul Masail keputusan Munas itu.
Dampak negatif yang dimaksud adalah, pertama, politik uang. Kedua, pilkada sangat mahal. Ketiga, pilkada berpotensi menimbulkan korupsi. Keempat, terbukti kepala daerah banyak yang korupsi. Berikut kalimat dalam poin ke-3.
"Pendidikan politik yang diberikan kepada rakyat melalui pemilukada bukanlah pendidikan politik yang sehat, melainkan pendidikan politik yang buruk, antara lain berupa merebaknya money politics (risywah siyasiyyah). Biaya pemilukada menjadi sangat mahal, bukan hanya bagi negara, tetapi juga bagi para kandidat. Hal ini sangat potensial untuk menimbulkan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Banyaknya kepala daerah yang terlibat kasus korupsi, membuktikan kebenaran hal ini," demikian poin ke-3 dalam dalam Bab II keputusan Munas itu.
Selain itu, harapan untuk memperoleh kepala daerah terbaik sering tidak terwujud. Yang ada adalah keburukan berupa konflik horizontal. Maka NU menyatakan kemaslahatan pilkada langsung adalah kemaslahatan semu. Pilkada wajib ditinjau kembali, sesuai kaidah fiqiyyah, "Menolak kerusakan itu lebih utama daripada meraih kemaslahatan."
"Pemilihan kepala daerah (Pilkada) gubernur, bupati dan walikota melalui lembaga perwakilan (DPRD tingkat I dan DPRD
tingkat II) layak untuk diberlakukan kembali, karena terbukti mafsadahnya (kerusakan atau akibat buruk -red) lebih kecil daripada mafsadah pemilukada. Hal ini sejalan dengan prinsip hukum Islam tentang ditempuhnya madharat yang lebih ringan di antara dua madharat," demikian poin ke-6 alias poin terakhir dalam Bab II keputusan Munas itu.
Rekomendasi Konferensi Besar Nahdlatul Ulama
Rekomendasi ini merentang dari bidang politik, ekonomi, pendidikan, sosial budaya, internasional, dan internal. Rekomendasi soal pemilu ada di rekomendasi bidang politik. Sebenarnya pilpres juga disinggung sedikit saat membahas kelemahan demokrasi di Indonesia. Kelemahan itu adalah praktik politik uang.
"Masih kentalnya politik uang dari hampir setiap kegiatan demokrasi yang berlangsung; mulai dari pemilihan kepala desa, kepala daerah sampai ke proses pemilihan wakil-wakil rakyat dan pemilihan presiden mengusik hati nurani banyak pihak. Jika dibiarkan, maka jalannya demokrasi politik ini hanya berputar pada tingkat prosedural (dari pemilu ke pemilu berikutnya) yang sah secara periodik, namun tak pernah sampai pada tujuan dasar dari demokrasi politik itu sendiri, yaitu terciptanya keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan rakyat seperti yang dicita-citakan para pendiri bangsa ini," demikian NU menyoroti salah satu kelemahan demokrasi di Indonesia.
Kelemahan demokrasi lainnya adalah Amandemen UUD 1945 sampai amandemen ke-4 telah mengubah karakter bangsa dan menyimpang dari Pancasila dan pembukaan UUD 1945, partai politik menjadi hambatan representasi aspirasi rakyat, maraknya kasus korupsi yang dilakukan politikus dan birokrat, dan penanggulangan korupsi yang belum maksimal.
Maka Konferensi Besar Nahdlatul Ulama mengeluarkan rekomendasi:
1. MPR RI agar melakukan peninjauan kembali secara sungguh-sungguh hasil amandemen UUD 1945 yang sudah berlangsung 4 kali untuk menghasilkan amandemen berikutnya yang benarbenar sesuai dengan Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.
2. Semua pihak, terutama tokoh-tokoh politik dan birokrat segera beranjak dari proses demokrasi prosedural ke demokrasi substansial yang terbebas dari money politics (risywah siyasiyah) untuk lebih mengutamakan kepentingan rakyat.
3. Partai politik dan anggota-anggotanya yang ada di parlemen dalam mengambil prakarsa-prakarsa kebijakan, hendaknya lebih mengutamakan kepentingan dan aspirasi masyarakat daripada kepentingan partai.
4. Dalam proses rekrutmen dan pengkaderan, hendaknya pemerintah dan partai politik mengedepankan nilai-nilai amanah dan akhlaqul karimah.
5. Presiden harus segera menggunakan kewenangannya secara penuh dan tanpa tebang pilih atas upaya-upaya penanggulangan korupsi dalam penyelenggaraan Pemerintah, utamanya terkait dengan kinerja lembaga-lembaga di bawah kendali Presiden yang terkait langsung, yaitu Kepolisian dan Kejaksaan.
6. Masyarakat agar berkontribusi aktif dalam upaya meruntuhkan budaya korupsi dengan memperkuat sanksi sosial terhadap koruptor, sehingga dapat menimbulkan efek jera dan juga efek pencegahan bagi tindakan korupsi berikutnya.
Rekomendasi ini ditandatangani oleh Ketua Tim Perumus Masduki Baidlawi dan Sekretaris M Syafie' Alielha, pada 17 September di Kempek, Cirebon, Jawa Barat.
Sebelumnya, Ketua Umum PBNU KH Said Aqil menyatakan pilpres akan lebih baik bila dikembalikan ke pemillihan lewat MPR. Dikatakannya, itu adalah hasil Munas PBNU. Pilpres langsung disebutnya berbiaya tinggi. Maka Pilpres lewat MPR lebih banyak manfaatnya ketimbang Pilpres langsung.
"PBNU merasa pemilihan presiden dan wapres lebih bermanfaat, bukan lebih baik, lebih tinggi kemaslahatannya lebih baik dikembalikan ke MPR, ketimbang langsung karena lebih banyak mudaratnya itu adalah hasil Munas PBNU di pesantren di Kempek, Cirebon, pada tahun 2012 lalu," kata Said, seusai pertemuan tertutup di kantor PBNU, Jl Kramat Raya, Jakarta Pusat, Rabu (27/11) kemarin.
Saat dikonfirmasi, Ketua Harian Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Robikin Emhas, menjelaskan hasil Munas Cirebon 2012 merujuk pada pilkada langsung, bukan pilpres langsung. Menurut Munas NU 2012, pilkada via DPRD bakal lebih kecil keburukannya ketimbang pilkada langsung.
"Yang dimaksud Kyai Said itu adalah Pemilihan Kepala Daerah," kata Robikin Emhas kepada wartawan, Kamis (28/11/2019).
Namun terlepas dari hasil Munas NU Tahun 2012, PBNU tetap melihat Pilpres langsung perlu diganti dengan Pilpres tidak langsung. Soalnya, Pilpres langsung terbukti menimbulkan akibat yang negatif. Akibatnya ketahanan nasional bisa melemah.
"Terkait Pilpres, itu konteksnya berdasarkan evaluasi Pilpres kemarin di mana residu politik sudah luar biasa. Selain high cost secara finansial, Pilpres juga high cost secara sosial. Tidak sedikit korban meninggal, apakah itu penyelenggara ataupun yang lain. Yang dulunya kawan akrab menjadi terpisah, ada keluarga bercerai karena beda pilihan politik, dan sebagainya," kata Robikin.
PBNU melihat demokrasi hanyalah alat untuk mencapai tujuan nasional. Maka demokrasi prosedural harus bergeser ke demokrasi yang lebih substantif demi tercapainya tujuan nasional. Entah itu Pilpres via MPR atau bukan, namun metodenya bukan Pilpres langsung, hal ini perlu dipikirkan lebih lanjut.
"Untuk itu polanya harus diperbaiki. Di negara maju, Pilpresnya tidak sama. Kenapa tidak mengambil pola-pola itu?" tutur Robikin.
Halaman 2 dari 4
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini