"Menyatakan tidak sah menurut hukum tindakan termohon menetapkan pemohon sebagai tersangka terkait tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo.Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP," kata tim pengacara Elviyanto, Desi Biki, dalam berkas permohonannya, Senin (25/11/2019).
Desi keberatan dengan penetapan tersangka terhadap kliennya karena belum pernah diperiksa sebagai calon tersangka dalam proses penyidikan. Selain itu, dia mempersoalkan tentang penahanan yang dilakukan berdasarkan operasi tangkap tangan (OTT).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, kegiatan OTT mestinya dilakukan untuk mengkonkretkan serangkaian tindakan penyadapan yang telah dilakukan sebelumnya sehingga bukti permulaan yang telah diperoleh akan menjadi bukti permulaan yang cukup. Akan tetapi, Desi menduga KPK tidak mempunyai bukti permulaan yang cukup dalam menetapkan Elviyanto sebagai tersangka.
Sebab, ia menilai penetapan tersangka terhadap pemohon hanya didasari bukti transfer sebesar Rp 2,1 Milyar dari tersangka lainnya, Zulfikar kepada rekening penerima atas nama Dody Wahyudi. Selain itu, Desi menilai bukti transaksi itu tidak ada keterkaitannya dengan I Nyoman Dhamantra selaku penyelenggara negara.
Simak Video "Saksi Mata: Upaya Penggagalan Pelantikan Presiden"
Hal itu karena sejak awal I Nyoman Dhamantra disebut sudah menolak membantu mengurus kuota impor. Selain itu, menurut Desi, KPK tidak mempunyai bukti komunikasi antara Nyoman dengan tersangka lainnya dalam kasus suap impor bawang.
"Bahwa bukti transfer tersebut benar adanya namun sama sekali tidak ada kaitannya dengan Saudara I Nyoman Dhamantra (anggota DPR RI). Oleh karena tidak ada janji atau komitmen apapun yang diberikan oleh Saudara I Nyoman Dhamantra baik kepada pemohon dan atau Mirawaty dan atau Dody dan atau Zulfikar dan dan atau Chandry Suanda alias Afung," kata Desi.
"Bahwa selain itu tidak ada satu saksi atau petunjuk dan atau bukti lain yang menunjukkan keterkaitan bukti transfer dengan status dan atau jabatan Saudara I Nyoman Dhamantra. Oleh karena faktanya memang tidak pernah Saudara I Nyoman Dhamantra berkomunikasi dan atau bertemu dengan Dody dan atau Zulfikar dan dan atau Chandry Suanda alias Afung (apalagi membahas mengenai ijin import bawang putih dengan pihak-pihak tersebut)," kata Desi.
Ia menambahkan, dalam kasus tangkap tangan harusnya barang bukti berupa uang (bukti transfer) harus berkaitan dengan pejabat negara, tapi dalam kasus ini I Nyoman Dhamantra disebut tidak memiliki peran dalam kasus tersebut. Selain itu saat ditangkap, I Nyoman Dhamantra juga tidak ada bersama tersangka lainnya.
"Ketika pemohon ditetapkan sebagai tersangka oleh termohon dua alat bukti yang sah untuk menetapkan sebagai tersangka tersebut tidak ada; Setiap gratifikasi pasti terkait langsung dengan peran / kedudukan seseorang sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara," tutur Desi.
"Apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya (Pasal 12 dan atau 11 UU Tipikor). Secara logis, tidak mungkin dikatakan adanya suatu penyuapan apabila tidak ada pegawai negeri atau penyelenggara negara," imbuhnya.
Diketahui, dalam kasus ini mantan anggota DPR I Nyoman Dhamantra juga telah mengajukan gugatan praperadilan. Namun, gugatan tersebut ditolak, hakim menyatakan status tersangka Dhamantra terkait kasus suap impor bawang putih, sah.
Sebelumnya, dalam kasus dugaan suap impor bawang putih ini, ada enam orang yang ditetapkan KPK sebagai tersangka, yaitu:
1. CSU alias Afung (Chandry Suanda) pemilik PT Cahaya Sakti Agro
2. DDW (Doddy Wahyudi) swasta
3. ZFK (Zulfikar) swasta
Tersangka penerima:
a. INY (I Nyoman Dhamantra), anggota DPR 2014-2019
b. MBS (Mirawati Basri), orang kepercayaan INY
c. ELV (Elviyanto), swasta
Halaman 2 dari 3
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini