Jakarta - Terduga
terorisme AT dibekuk Detasemen Khusus 88 Antiteror di Jembrana, Bali, empat pekan lalu. AT disebut intens berkomunikasi dengan Syahrial Alamsyah alias
Abu Rara, pelaku penikaman mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto di Pandeglang, Banten.
AT tak ditangkap sendirian. Putranya, ZAI, yang baru berusia 14 tahun turut disergap polisi. Keduanya diduga merencanakan aksi teror di wilayah Bali. Dari tangan bapak dan anak ini, polisi menyita busur panah, mur, baut, dan komponen lainnya yang diduga dijadikan bahan bom.
ZAI bukan satu-satunya anak remaja yang terpapar radikalisme. Setengah tahun sebelumnya, polisi mencokok YM alias Kautsar, remaja berumur 18 tahun di Rawalumbu, Bekasi. Kautsar, yang juga atlet karate, direkrut oleh amir Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Bekasi, EY alias Rafli, sejak masih bersekolah di sebuah SMA negeri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penangkapan demi penangkapan itu menambah panjang deretan remaja yang terlibat aksi teror. Peristiwa pengeboman di Surabaya pada Mei 2018 ataupun bom Gereja Oikumene, Samarinda, Kalimantan Timur, pada November 2016 juga melibatkan anak remaja. Dua pelaku di Samarinda masih berumur 16 dan 17 tahun. Mereka punya peran sebagai pembuat bom.
Peneliti terorisme Hasibullah Satrawi menyebut aksi anak-anak muda tersebut beberapa karena mengikuti orang tua yang lebih dulu terpapar paham ekstremisme. Ini terjadi dalam kasus bom dua gereja di Surabaya. "Namun ada juga anak-anak yang secara aktif melakukan tindakan teror," ujar Hasibullah.
Anak-anak aktif ikut melakukan aksi terorisme tersebut, ujar Hasibullah bisa terjadi karena kelompok teroris saat ini mengalami 'milenialisasi'. Kelompok teroris dengan mudah menyusupkan beragam propaganda yang mampu memikat pengguna internet dan media sosial.
"Tren media sosial berpengaruh juga di dalam jaringan ini. Mereka mampu memanfaatkan media sosial untuk menggalang, merekrut, mempengaruhi, dan mengajak, terutama anak-anak remaja," ujar Hasibullah. "Tak hanya itu, pemberian materi pengeboman juga dilakukan lewat jalur media sosial."
Penggunaan media sosial juga membuat proses radikalisasi jauh lebih masif dan cepat. Hal tersebut diutarakan, Mirra Noor Milla, anggota Tim Ahli Konsultasi Bidang Psikologi untuk program deradikalisasi yang dilakukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Dahulu, menurut Mirra, anak usia belasan agar bisa punya peran signifikan dalam sebuah kelompok teror membutuhkan waktu yang tak singkat. Mereka yang tertarik ajaran-ajaran kekerasan belum tentu bertemu dengan kelompok yang sesuai.
"Kalau ketemu kelompoknya pun belum tentu direkrut. Dulu kelompok radikal ini jauh lebih selektif merekrut orang untuk terlibat dalam aksi jihad atau apa pun," kata Mirra pada
detikcom, Jumat (15/11/2019).
Era ISIS, semua berubah. Proses radikalisasi yang sebelumnya lewat kamp-kamp pelatihan, kini kebanyakan terjadi lewat media internet. "Sekarang inkubatornya ada di medsos. Ini kemudian menjelaskan kenapa kemudian tren radikalisasi semakin mudah dan cepat," ujar Mirra.
Mirra yang belakangan 'menangani' dua remaja terpidana kasus terorisme di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Salemba, menyebut anak-anak muda di medsos mendapatkan diskusi soal paham ekstrem yang dibungkus dengan propaganda dalam bentuk narasi-narasi kegelisahan.
"Istilah psikologinya narasi itu meningkatkan persepsi ketidakadilan dan persepsi terancam. Bahwa dunia ini akan memburuk, penguasa yang punya peran besar di dunia jahat maka kita perlu melakukan sesuatu," ujar pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia itu.
"Untuk melakukan 'perbaikan' pada dunia itu, kelompok-kelompok radikal menyediakan peran bagi anak-anak muda ini. Kalau kamu mau jadi orang yang baik, kamu harus punya kontribusi."
Hal ini bertemu dengan sifat dasar remaja yang sedang dalam tingkatan masa mencari identitas. "Salah satu motif terkuat anak-anak remaja bergabung dengan kelompok radikal ya motif identitas. Mereka ingin meningkatkan
self esteem dengan masuk dalam kelompok yang memberi peran bermakna," ujar Mirra.
"Ini kayak ada faktor pendorong internal dari individu remaja yang rentan bertemu dengan daya tarik kelompok sebagai faktor eksternal untuk memenuhi faktor psikologis mereka."
Proses-proses diskusi di medsos tersebut tak lepas dari pantauan kelompok radikal. Mereka yang konsisten terlibat dalam diskusi akan diundang dalam grup yang lebih eksklusif melalui aplikasi WhatsApp atau Telegram.
"Dalam grup ini pun mereka juga dipantau kalau misalnya tidak aktif akan dikeluarkan. Kalau aktif akan maju ke proses selanjutnya," kata Mirra. "Yang dianggap punya komitmen dan intens bisa langsung dipercaya untuk yang bersifat teknis."
Mirra menyampaikan, tak terlampau rumit menderadikalisasi anak remaja yang sudah terpapar. Remaja ini hanya membutuhkan figur panutan yang mampu menuntun mereka ke pemahaman yang lebih baik.
"Karena itu, orang tua harus dilibatkan dalam proses deradikalisasi. Kalau nggak, mereka akan cari keluarga baru," ujar Mirra. "Yang sulit kalau orang tuanya sudah radikal. Itu susah keluarnya. Harus bapak ibunya dulu yang dideradikalisasi."
 Ilustrasi (Unsplash) |
Sangat cepatnya proses radikalisasi via media sosial hanya bisa dibendung salah satunya lewat peranan keluarga. Menurut Mirra, orang tua harus memberikan panduan yang jelas kepada anak, terutama yang mulai menginjak usia remaja.
"Mereka juga butuh figur panutan untuk mengarahkan serta memberi peluang dan kesempatan. Mereka juga punya kebutuhan afiliasi. Kalau di keluarga sendiri mereka tidak mendapatkan itu, mereka akan mencari keluarga baru, yakni kelompok-kelompok radikal," ujar Mirra.
Hasibullah menambahkan pola terorisme hampir tidak ada yang ajek. Perlu diwaspadai apakah pelibatan anak remaja itu merupakan bagian dari strategi. "Karena yang muncul anak muda jadi teroris yang tua dianggap sudah tidak aktif atau berbahaya. Tidak bisa dipahami begitu juga," ujarnya.
Strategi ini mirip dengan kaum perempuan yang kemudian banyak dilibatkan dalam aksi terorisme belakangan ini. "Karena ruang gerak laki-laki dipersempit. Perempuan yang dimunculkan. Ini ada justifikasi keagamaannya semacam fatwa kalau laki-laki sudah tidak bisa wajib bagi perempuan untuk berjihad," ujar Hasibullah.
Imbauan Ma'ruf Waspadai Ancaman Terorisme: Kecurigaan Itu Perlu
[Gambas:Video 20detik]
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini