Saksi yang dimaksud adalah atas nama Herry Jung sebagai General Manager Hyundai Engineering & Construction. Namun Syarif belum menyebut keterkaitan Herry dalam kasus tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam kasus ini, Sunjaya diduga menerima gratifikasi yang totalnya kurang-lebih Rp 51 miliar. Salah satu sumber gratifikasi, disebut Syarif, terkait perizinan PLTU 2 di Kabupaten Cirebon sebesar Rp 6,04 miliar.
Dari penelusuran, media The Korea Times pada 2 Mei 2019 memberitakan kaitan PLTU 2 itu dengan Hyundai Engineering & Construction. Seorang juru bicara dari kantor pusat perusahaan itu di Seoul membenarkan adanya uang untuk Sunjaya.
"Bupati mendekati kami melalui broker dan menawarkan untuk menyelesaikan masalah ini. Bagi kami, sangat penting untuk menyelesaikan pembangunan tepat waktu. Jika tidak, kami bisa menghadapi denda yang berat. Jadi kami memberinya uang," ucap juru bicara itu.
Berita itu berjudul 'Hyundai admits bribing Indonesian politician for power plant construction'. Terkait berita itu bisa dicek dicek pada pranala ini.
Kembali pada keterangan Syarif. Mengenai hal itu, Syarif belum menyebutkan dengan jelas, tetapi memberikan kata kunci bahwa hubungan KPK dengan lembaga antikorupsi di Korsel terjalin baik.
"Kami ketahui, tapi apakah saatnya kami sampaikan, kayanya belum saatnya karena masih proses penyelidikan," kata Syarif.
"Perlu diinformasikan kerja sama antara KPK dan KPK Korea Selatan sudah sangat erat. Kami sering kirim officer ke sana dan saling tukar pikiran," imbuhnya.
Singgung Investasi Tanpa Suap
Terkait dengan dugaan adanya perusahaan asing dengan gratifikasi yang diterima Sunjaya, Syarif berbicara tentang iklim investasi di Indonesia. Syarif menyebut investor ke Indonesia sebaiknya mengikuti aturan yang ada.
"Kami berharap setiap investor yang ada di Indonesia itu adalah yang baik dan pada saat yang sama tidak gunakan modus penyuapan dan pemberian gratifikasi seperti ini. Kalau ada yang seperti itu, yang didapat negara itu bukan baik, (tapi) harga pasti lebih mahal dan kualitas agak kurang," kata Syarif.
"Kita juga berharap investor yang ke Indonesia ke depan tidak berhadapan dengan pejabat yang minta illegal payment. Itu tidak boleh terjadi," imbuh Syarif.
Sebab, menurut Syarif, para investor pasti rugi bila ada 'biaya tambahan' berupa suap untuk berbisnis. Di sisi lain, Syarif menyebut negara rugi pula lantaran nantinya tidak ada investor yang masuk karena ada praktik haram. Untuk itulah, KPK, disebut Syarif, memastikan hal itu tidak terjadi.
"Sekali kami mendapatkan informasi dari duta besar di negara sahabat, mereka ingin kepastian. Mereka tidak ingin cost ekstra di atas biaya resmi," kata Syarif.
Halaman 2 dari 2
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini