Kondisi 'besar pasak daripada tiang' ini memaksa anggota Dewan terpilih menemukan cara supaya bisa balik modal karena anggota Dewan yang bersangkutan telah mengeluarkan banyak biaya saat kampanye. Akibatnya, banyak yang menempuh cara lancung dengan 'menggarong' uang rakyat.
"Biaya politik yang mahal (high cost politics) kerap kali menjadikan mereka untuk mencari bancakan di parlemen. Ini yang akhirnya menjerat beberapa anggota Dewan untuk berurusan dengan perkara korupsi," kata Titi.
Sayangnya, pengeluaran para caleg saat Pileg itu tidak terekam dengan baik pada laporan dana kampanye Pemilu. Titi menyoroti laporan dana kampanye pemilu cenderung sekadar formalitas belaka. Gara-gara biaya politik yang tinggi itu, mayoritas yang duduk di DPR adalah kelas pedagang. Oligarki rentan terbentuk.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Makanya, akibat ongkos pemilu yang sangat mahal, jangan heran kalau yang terpilih di DPR mayoritas berlatar belakang pengusaha. Ini jadi pekerjaan rumah besar yang harus kita benahi agar politik kita bisa inklusif dan terjangkau oleh semua lapisan masyarakat. Tidak terjebak pada oligarki dan tekanan politik kekerabatan," tutur Titi.
(dnu/fjp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini