"Kita tahu selama seminggu terakhir eskalasi politik dinamis, banyak demo di mana-mana dan sayangnya dalam aksi demo itu ketika jurnalis lakukan proses peliputan," kata Sekjen AJI Indonesia Revolusi Riza saat konferensi pers di kantor AJI, Jakarta Selatan, Jumat (27/9/2019).
Dari 14 jurnalis itu, 5 di antaranya di Jakarta. AJI mengutuk kekerasan itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Karena itu, Riza menilai institusi Polri perlu direformasi. Dia mengatakan polisi selama ini melampaui kewenangannya dalam menangani aksi demonstrasi.
"Reformasi terhadap polisi ini layak untuk segera dilaksanakan. Polisi kami lihat selama beberapa waktu terakhir sering melampaui kewenangan dalam menangani aksi-aksi yang dilakukan masyarakat dan juga penanganan wartawan dan jurnalis yang lakukan peliputan di lapangan," tegasnya.
Selain AJI Indonesia, peneliti LBH, Charlie AlBajili, juga mendukung adanya reformasi di institusi Polri. Dia berharap kekerasan itu tidak terulang lagi.
"Sejalan dengan kawan-kawan AJI tadi, kami suarakan reformasi di kepolisian, bukan hanya persoalan peraturan teknis internal, tapi struktural kelembagaan yang harus direformasi agar tidak terjadi bentuk kekerasan oleh negara," ujar Charlie.
Polri sebelumnya meminta maaf atas tindak kekerasan anggotanya terhadap jurnalis yang meliput demo RUU kontroversial di sejumlah daerah di Tanah Air. Polri meminta pihak Propam menindak tegas oknum polisi tersebut.
"Begitu kejadian di Sulawesi Selatan, saya langsung komunikasi dengan Pemred (Pemimpin Redaksi) Antara. Secara pribadi, saya menyesalkan kejadian tersebut dan saya perintahkan Kabid Humas (Kombes Dicky Sondani) menemui yang bersangkutan dan meminta maaf," ucap Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Dedi Prasetyo di Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (27/9).
"Dan anggota yang terbukti melakukan perbuatan itu, saya minta ditindak tegas oleh Propam setempat," sambung Dedi.
Halaman 2 dari 2











































