Ahli hukum pidana itu adalah Chairul Huda yang merupakan dosen dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ). Chairul menyebut penerapan pasal yang menjerat Novanto keliru.
Dalam putusan, Novanto terbukti melanggar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Lebih mudahnya akan disebut Pasal 3 UU Tipikor.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
Menurut Chairul, pasal itu berbeda dengan persoalan penerimaan suap. Chairul menyebut Novanto seharusnya dijerat dengan pasal penerimaan suap apabila memang terbukti menerima suap, bukan dengan Pasal 3 UU Tipikor tersebut.
"Titik berat penerimaan (dalam) Pasal 3 menyalahgunakan kewenangan, menguntungkan diri sendiri untuk motivasi menyalahgunakan kewenangan. Kalau yang terbukti nyata menerima sesuatu maka diterapkan ketentuan suap, bukan tindak pidana merugikan keuangan negara (seperti di dalam) Pasal 3 (UU Tipikor)," sebut Chairul saat menyampaikan pendapatnya sebagai ahli dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Selasa (24/9/2019).
"Tentu sangat berbeda, pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah ini sumber tadi hadiah dimaksud bukan sumber keuangan negara, sedangkan keuntungan yang diperoleh karena orang menyalahgunakan kewenangan atau maksud mendapatkan keuntungan menjadi motivasi," imbuh Chairul.
Selepas sidang, Chairul turut menyoroti fakta persidangan yang mengungkapkan aliran uang yang tidak diterima langsung Novanto, tetapi melalui 2 orang yaitu Irvanto Hendra Pambudi Cahyo dan Made Oka Masagung. Irvanto adalah keponakan Novanto, sedangkan Made Oka sebagai salah satu orang kepercayaan Novanto.
"Faktanya tidak bisa dikatakan ponakan terima lalu Pak Novanto terima. Tidak bisa begitu. Harus dibuktikan hubungan penyertaan bahwa betul penerimaan untuk yang bersangkutan ini," kata Chairul.
"Harusnya kalau pun dianggap menerima uang 2 juta dolar dihukum suap dong, bukan Pasal 3. Poinnya salah pasal, jadi katakanlah terima suap salah pasal harusnya Pasal 12 atau Pasal 11 bukan Pasal 3," imbuhnya.
Baca juga: Jaksa KPK Minta MA Tolak PK Novanto |
Dalam permohonan PK, Novanto meminta seluruh permohonan dikabulkan, dibebaskan, dan dinyatakan dakwaan terhadapnya tidak terbukti. Selain itu, ada beberapa bukti baru atau novum yang dijadikan dasarnya mengajukan permohonan PK tersebut.
Novum baru itu disebut kuasa hukum Novanto, Maqdir Ismail, adanya bukti hasil pemeriksaan agen FBI Jonathan E Holden terhadap Johannes Marliem di persidangan yang digelar di pengadilan Amerika Serikat hingga permohonan justice collaborator keponakannya Irvanto Hendra Pambudi Cahyo.
Halaman 2 dari 2
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini