Selain itu, RUU Pertanahan itu dianggap membuka lebih luas hak atas tanah bagi asing. Menurut UUPA 1960, hak milik atas tanah (maupun bangunan) hanya bagi WNI. Bagi WNA diberikan hak pakai (HP) dan hak sewa.
Selain melalui hak pakai, RUU Pertanahan membuat jenis hak baru berupa hak milik satuan rumah susun (sarusun), yang juga dibuka bagi WNA maupun korporasi/badan hukum asing (Pasal 37). Mekanisme penerbitan Hak Milik Sarurun begitu luas, dapat melalui tanah hak milik atau tanah negara atau tanah HPL, yang di atasnya diterbitkan HGB atau Hak Pakai (Pasal 37).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Pajak Progresif Pertanahan Mau Dihapus! |
Dewi menilai RUU Pertanahan bertentangan dengan UUD 1945 dan UUPA 1960. Tak hanya itu, RUU Pertanahan dinilai bermasalah karena Hak Guna Usaha diduga akan memperkuat korporasi.
Ia juga menolak dibentuknya Lembaga Pengelolaan Tanah dari yang sebelumnya disebut Bank Tanah. Selain itu RUU Pertanahan juga dianggap menyimpang dari reforma agraria, dianggap mengabaikan konflik agraria struktural dan menyederhanakannya menjadi sengketa pertanahan atai perdata biasa, serta dianggap mengancam hak masyarakat adat.
"Bahayanya adalah tanah negara itu masih debate-able selama puluhan tahun, semua tanah masyarakat yang belum disertifikatkan belum diakui oleh pemerintah dianggap diklaim sebagai tanah negara. Dianggap illegal masyarakat adat petani dll yang sampai sekarang masih dalam status konflik," ujarnya.
Baca juga: Muncul Lagi Wacana Pembentukan Bank Tanah |
(yld/fdu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini