TII Soroti Revisi UU KPK yang Wajibkan Penyelidik Harus dari Polri

TII Soroti Revisi UU KPK yang Wajibkan Penyelidik Harus dari Polri

Haris Fadhil - detikNews
Jumat, 06 Sep 2019 13:47 WIB
Gedung baru KPK (Foto: Rachman Haryanto-detikcom)

Keberadaan aturan soal proses rekrutmen lewat Polri, Kejaksaan Agung dan instansi yang membawahi penyidik PNS draf revisi UU KPK juga dinilainya mengkhawatirkan. Dia mengatakan cara rekrutmen tersebut bisa menimbulkan konflik kepentingan jangka panjang.

"Selama ini KPK secara mandiri mampu menyelenggarakan rekrutmen terhadap penyelidik dan penyidik tanpa harus melalui institusi kepolisian dan kejaksaan. Bahkan KPK telah menjalin kerja sama dengan penegak hukum di negara lain terkait dengan rekrutmen penyelidik dan penyidik. Jika proses dan mekanisme pengangkatan penyelidik serta penyidik diwajibkan melalui skema institusi tersebut, maka kondisi ini berpotensi memunculkan konflik kepentingan jangka panjang," jelasnya.

Keberadaan Dewan Pengawas yang kewenangannya diatur dalam draf revisi UU KPK itu juga dianggap berpotensi mengancam proses penegakan hukum oleh KPK. Dia menyebut selama ini KPK memilik pengawasan internal yang ketat lewat penasihat KPK, Kedeputian PIPM dan Wadah Pegawai KPK serta pihak eksternal seperti Presiden, DPR, BPK dan masyarakat.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


"Berdasarkan penelitian TII terkait, kinerja akuntabilitas dan integritas internal KPK mendapatkan skor baik (78%). Sehingga seharusnya semua stakeholders fokus pada penguatan mekanisme penguatan yang sudah ada, bukan menambah satu unit atau badan tertentu," ujarnya.

Dia juga khawatir dengan kewajiban izin penyadapan. Menurutnya, selama ini KPK sebagai lembaga antikorupsi punya kewenangan melakukan penyadapan tanpa izin karena korupsi tergolong tindak pidana khusus.

"Mekanisme ini merupakan kewenangan khusus yang diberikan untuk menanggulangi kejahatan khusus, di mana hal ini juga termasuk kewenangan untuk tidak mengeluarkan surat penetapan penghentian penyidikan dan penuntutan (SP3) terhadap suatu perkara. Sehingga ketentuan baru agar KPK harus meminta izin tertulis kepada Dewan Pengawas ketika akan melakukan penyadapan (pasal 12B), merupakan suatu bentuk intervensi politik yang mengganggu independensi proses penegakan hukum," ujar Alvin.

Semua poin itu dianggapnya sebagai upaya nyata memperlemah kelembagaan KPK. Rencana revisi tersebut juga dianggap mengabaikan fakta Indonesia masih berada di 30 persen negara terkorup dunia yang tercermin dari indeks persepsi korupsi yang kenaikannya stagnan.

"Faktor utama stagnasi ini terletak pada masih maraknya korupsi dalam sistem politik melalui jual beli suara, politik uang, dan kleptokrasi serta praktik suap dalam sektor bisnis atau usaha. Sehingga mengurangi kewenangan KPK justru kontraproduktif dengan situasi korupsi yang dihadapi Indonesia saat ini," tutur Alvin.
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads